telusur.co.id - Ketua Bidang Hukum dan HAM DPP Partai NasDem, Atang Irawan menekankam pentingnya penyederhanaan regulasi pemilu melalui pendekatan Omnibus Law.
Hal ini menurutnya sangat diperlukan mengingat banyaknya peraturan yang sudah terlalu kompleks dan bahkan mengalami obesitas regulasi, yang mengatur Pilpres dan Pilkada secara terpisah, padahal Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan bahwa Pilkada merupakan bagian dari (ranah) rezim kontestasi politik.
"Simplifikasi peraturan Pemilu ini menjadi penting karena saat ini ada peraturan yang obesitas, terkait Pilpres dan Pilkada, meskipun MK sudah menegaskan bahwa Pilkada masuk dalam rezim kontestasi politik," ujar Atang ditemui usai acara pembukaan Bimbingan Teknis Hukum Acara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Tahun 2024 bagi Partai Politik Angkatan II di Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi, Cisarua, Bogor, Senin (30/9) malam.
Ia menambahkan bahwa langkah ini akan berimplikasi pada penataan kewenangan lembaga-lembaga yang ada dalam skema electoral justice demi melindungi hak pemilih dan kandidat, memastikan hasil Pemilu yang sah, serta menangani dan menyelesaikan sengketa yang mungkin timbul selama atau setelah Pemilu.
Menurutnya, jika aturan yang ada bersifat parsial, maka akan membuka ruang bagi berbagai penafsiran yang berbeda, baik dari peserta pemilu maupun MK sendiri. MK pun memiliki wewenang untuk mengambil alih jika lembaga-lembaga yang terlibat dalam electoral justice tidak menjalankan fungsinya dengan baik.
"Jika skema electoral justice stagnan atau tidak berjalan, MK dapat mengambil alih sebagai pintu terakhir. Ini menggarisbawahi pentingnya Omnibus Law agar sistem ini dapat berjalan dengan lebih efisien dan terhindar dari multitafsir," lanjut Atang.
Selain itu, ia juga menyoroti kompleksitas hukum acara di MK. Menurutnya, Pasal 24C ayat 6 UUD 1945 seharusnya memberikan dasar untuk adanya satu hukum acara yang komprehensif di MK. Namun, dalam praktiknya, UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK mendelegasikan penyusunan hukum acara kepada peraturan MK, yang kini menciptakan enam hukum acara terpisah, karena MK memiliki empat kewenangan dan tambahan satu kewajiban yang diputuskan oleh MK sendiri, yakni memasukkan Pilkada dalam rezim pemilu.
"Satu kewenangan lain terkait dengan impeachment, sehingga ada lima kewenangan MK dan satu kewajiban. Hukum acara yang parsial membuat proses akselerasi bagi peserta kontestasi politik menjadi tidak mudah," jelasnya.
Atang berharap, melalui Omnibus Law ini, hukum acara dan regulasi pemilu dapat disederhanakan sehingga memudahkan seluruh pihak yang terlibat dalam proses politik, serta menghindari tumpang tindih dan multitafsir dalam pelaksanaannya. [ham]