Pengamat: Membandingkan Besaran Donasi Influencer, Bukti Kegagalan Komunikasi Pemerintah - Telusur

Pengamat: Membandingkan Besaran Donasi Influencer, Bukti Kegagalan Komunikasi Pemerintah

PengungsiĀ bencana sedang berada d tenda. Foto: Kajianberita

telusur.co.id - Direktur Eksekutif Aljabar Strategic, Arifki Chaniago menilai, pernyataan Menteri Sosial yang menyebut bahwa donasi harus dilaporkan dan sebelumnya juga ada komentar seorang anggota DPR yang membandingkan besarnya donasi negara dengan donasi influencer, menunjukkan kegagalan strategi komunikasi pemerintah dalam mengelola isu publik yang sangat sensitif secara emosional.

Menurutnya, dua respons itu justru memperlebar jarak persepsi antara pemerintah dan warga.

“Ketika publik sedang memuji aksi solidaritas influencer, narasi pemerintah malah masuk lewat pintu regulasi dan pembelaan angka. Itu seperti dua gelombang frekuensi yang tidak pernah saling bertemu,” ujar Arifki di Jakarta, Kamis (11/12/2025). 

Dia menilai bahwa Kemensos sebenarnya punya niat mulia memastikan tata kelola donasi tetap tertib, tetapi timing komunikasinya tidak tepat. Menyampaikan pesan regulasi di tengah euforia solidaritas masyarakat membuat pemerintah tampak seperti mengoreksi, bukan merangkul.

“Ini problem klasik pemerintah: pesan benar, momentum salah. Dan di era digital, momentum yang salah bisa mengubah pesan benar menjadi sentimen negatif,” ucapnya.

Soal anggota DPR yang membandingkan donasi negara dengan influencer, ia menyebut langkah itu tidak strategis. Perbandingan semacam itu justru membuat pemerintah terlihat defensif dan terjebak dalam arena yang seharusnya tidak dimasukinya.

“Negara tidak bisa menang dalam adu donasi. Negara punya mandat, influencer punya imajinasi. Begitu pemerintah ikut membandingkan angka, posisinya langsung turun ke level kompetisi yang sebetulnya bukan ranahnya,” tegasnya.

Ia menambahkan bahwa dua pernyataan ini—Mensos dan DPR—menandai satu hal: pemerintah sedang kehilangan kendali atas narasi. Yang seharusnya dipimpin oleh pemerintah sebagai agenda setter kini justru diatur ritmenya oleh influencer dan percakapan warganet.

“Ketika negara berkomunikasi terlalu lambat dan terlalu teknokratis, ruang kosong itu diisi oleh aktor non-negara yang lebih cepat, lebih emosional, dan lebih pandai memanfaatkan algoritma,” ungkapnya.

Menurutnya, pemerintah semestinya tidak merespons isu donasi dengan pendekatan regulasi dan pembanding anggaran. Yang diperlukan justru kehadiran naratif yang empatik, transparan, dan proaktif, bukan reaktif.

“Sikap defensif pemerintah adalah tanda bahwa strategi komunikasi tidak disiapkan untuk ekosistem digital yang bergerak dalam hitungan menit. Pemerintah datang ketika persepsi sudah terbentuk. Itu masalah struktural,” katanya.

Ia menutup analisanya dengan menyatakan Ini bukan sekadar polemik donasi. Ini peringatan orkestrasi komunikasi yang dimainkan oleh negara sedang kalah cepat dalam perebutan kepercayaan publik. Dan kepercayaan hari ini tidak ditentukan oleh siapa yang punya sumber daya terbesar, tetapi siapa yang paling tepat membaca suasana hati publik.[Nug] 


Tinggalkan Komentar