telusur.co.id - Direktur Eksekutif Information and Communication Technology (ICT) Institute Heru Sutadi menilai, respons Menteri Komunikasi dan Digital, Meutya Hafid terkait isu penyedia layanan internet over the top/OTT asing yang tengah jadi perbincangan hangat publik saat ini, sudah tepat.
"Sebab kalau didiamkan berlarut-larut, maka akan muncul keresahan di masyarakat bahkan isunya akan ramai dan menimbulkan gugatan pada pemerintah. Sehingga memang harus ditanggapi secara cepat dan tepat," ujar Heru kepada wartawan, Senin (21/07/2025).
Diketahui, baru-baru ini muncul wacana di tengah publik terkait pembatasan layanan video berbasis internet atau voice over IP (VoIP), termasuk layanan WhatsApp Call. Informasi soal wacana pembatasan WhatsApp Call sebelumnya disampaikan oleh Direktur Strategi dan Kebijakan Infrastruktur Digital Kemkomdigi, Denny Setiawan
Namun meski begitu, lanjut Heru, pemerintah diharapkan juga lebih proaktif dalam merumuskan regulasi yang adil, dengan memberikan solusi konkret untuk ketimpangan yang dikeluhkan operator lokal.
"Operator seluler memang harus didorong mendapatkan pendapatan dari di luar voice dan SMS, dan memang sekarang juga data kan meningkat, tapi juga harus dipikirkan memberikan insentif apalagi terutama dengan regulatory cost yang tinggi, yang mendera operator seluler," ungkap Heru.
Heru juga menekankan agar Pemerintah juga mendorong model kerja sama di mana OTT asing diwajibkan bekerja sama dengan operator lokal dengan target penurunan harga layanan yang harus dibayarkan oleh masyarakat karena adanya keterlibatan pendanaan jaringan oleh OTT.
"Untuk mendanai infrastruktur atau membayar biaya penggunaan jaringan (network usage fee), seperti yang diterapkan di beberapa negara," tegasnya.
Selain itu, lanjut dia, Pemerintah harus memperketat aturan penyimpanan dan pengelolaan data pengguna oleh OTT asing untuk melindungi kepentingan nasional.
"Dan belajar dari negara lain, Indonesia bisa mengenakan pajak digital dari OTT, dan pajak digital ini sebagai faktor pengurang atau insentif yang diberikan pada operator seluler sehingga pendapatan negara dari telekomunikasi tetap terjaga, operator seluler mendapat insentif dan OTT dikenakan pajak digital sebagai bentuk keadilan bisnis digital yang selama ini OTT terbebas dari kewajiban apapun," tegasnya.
Tak hanya itu, Heru juga menekankan agar pemerintah menerapkan aturan yang tegas kepada para OTT asing yang berkegiatan usaha di tanah air.
"Pemerintah harusnya mewajibkan OTT kerjasama dengan operator lokal. Pemerintah juga harus mewajibkan OTT asing melakukan pendanaan infrastruktur jaringan, harga layanan turun," tandasnya.
Tak hanya itu, Heru juga menyoroti sistem keamanan dan pelindungan dari berbagai fitur layanan yang dijajakan OTT asing kepada masyarakat.
"Yang bikin miris, masyarakat sering nggak paham bahaya link atau APK sembarangan. Edukasi digital masih minim, padahal ini kunci. Karena itu, menurut saya, Pemerintah harus tegas menyuruh OTT bikin tombol lapor cepat buat kasus penipuan atau peretasan," tegasnya.
Heru juga mengungkapkan, soal perlindungan konsumen dari kejahatan di layanan OTT seperti penipuan lewat WhatsApp (APK) atau peretasan data, Komdigi menyebut laporan penipuan online melonjak tiap tahun.
Menkomdigi selaku regulator, lanjut dia, mestinya menunjukkan keberpihakannya kepada kepentingan keamanan masyarakat selaku pengguna layanan, bukan malah abai bahkan terkesan takut sama OTT asing.
"Dan OTT jadi sarang penjahat karena gampang diakses, tapi susah dilacak. Intinya kalau Menkomdigi gak ngatur malah melakukan pembiaran terhadap kejahatan-kejahatan yang terjadi melalui media OTT," tegasnya.
Pemerintah, jelas dia, sebenarnya sudah punya UU Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) No.27/2022, yang harusnya efektif 17 Oktober 2024, namun PP nya belum ada, dan Lembaga PDP belum terbentuk. OTT asing kayak Meta harusnya simpan data di server lokal, tapi banyak yang masih ogah-ogahan.
Mestinya, saran Heru, menyikapi fenomena seperti itu pemerintah harusnya melibatkan operator lokal untuk menyaring konten berbahaya di jaringan.
"Kayak firewall gitu. Kalau cuma ngandelin UU di kertas tanpa aksi nyata, konsumen bakal terus jadi santapan penjahat siber," sindirnya.
"Solusi lainnya, pemerintah bisa contek negara lain yang punya tim khusus patroli siber dan kerja bareng OTT buat blokir penipuan cepet. Masyarakat juga harus diedukasi agar jangan sembarangan klik link," pungkasnya.
Sebelumnya, Menkomdigi, Meutya Hafid, menegaskan, tidak tada rencana dari pemerintah untuk membatasi layanan WhatsApp Call.
"Saya tegaskan pemerintah tidak merancang ataupun mempertimbangkan pembatasan WhatsApp Call. Informasi yang beredar tidak benar dan menyesatkan," ujar Meutya dilansir lewat siaran pers di situs web resmi Komdigi.
Meutya menjelaskan bahwa yang terjadi sebenarnya adalah Kementerian Komdigi menerima usulan dari beberapa kalangan, di antaranya dari Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) dan Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel), yang menyampaikan pandangan terkait penataan ekosistem digital, termasuk relasi antara penyedia layanan over-the-top (OTT) seperti WhatsApp dan operator jaringan.
Namun, Meutya menekankan, usulan itu belum pernah dibahas dalam forum pengambilan kebijakan dan belum pernah menjadi bagian dari agenda resmi kementerian.
"Saya meminta maaf jika terjadi keresahan di tengah masyarakat. Saya sudah meminta jajaran terkait untuk segera melakukan klarifikasi internal dan memastikan tidak ada kebijakan yang diarahkan pada pembatasan layanan digital," tegasnya. [Nug]