Pengamat Politik, Karyono Wibowo mengatakan, seluruh pelanggaran pemilu merupakan ancaman bagi demokrasi. Namun, karena banyaknya pelanggaran pemilu, Karyono mencatat ada lima poin yang paling mengancam demokrasi.
“Pertama, penggunaaan politik identitas bermuatan SARA yang dijadikan upaya untuk menjatuhkan lawan politik,” kata Karyono dalam diskusi bertajuk ‘Pelanggaran Hukum dalam Pemilu 2019 dan Potensi Ancaman Demokrasi’ di kawasan Jakarta Pusat, Rabu (13/3/19).
Menurut Karyono, eksploitasi politik identitas sudah terjadi pada pemilu 2014. Hal itu semakin meninhkat di Pilkada 2017 dan 2018 dan menguat menjelang Pemilu 2019.
Hal ini, kata Karyono, ditandai dengan aktivitas dan narasi yang dikemas dengan berbagai varian dan marak disebarkan di media sosial.
“Demokrasi Indonesia jelas menghargai setiap perbedaan yang ada. Tapi dengan menguatnya politik identitas, maka demokrasi menjadi ternodai. Dampaknya itu menimbulkan keretakan sosial dan disharmoni. Kalau ini dibiarkan, dampaknya bisa menimbulkan disintegrasi bangsa,” jelasnya.
Yang kedua, kata Karyono, adalah maraknya kabar bohong alias hoaks. Menurutnya, daya rusak dari hoaks ini begitu luar biasa, apalagi ketika hoaks menjadi industri, hal ini jadi lebih berbahaya dan mengancam peradaban kemanusiaan.
“Ketika hoaks masuk ke ranah industri, maka akan jadi ancaman, apalagi kalau sudah jadi budaya sehingga dianggap biasa. Padahal jelas ini fitnah dan merugikan pihak lain. Saya tempatkan hoaks jadi ancaman demokrasi terbesar kedua setelah penggunaan isu SARA,” paparnya.
Yang ketiga, lanjut Karyono, adalah adanya intimidasi dan teror. Dia menjelaskan, intimidasi ini bisa bermacam-macam bentuknya. Bisa dalam bentuk spanduk dan baliho, bahkan ada teror seperti pembakaran mobil dan sepeda motor.
“Ini bisa jadi bagian dari strategi untuk menciptakan ketakutan bagi masyarakat,” terang Direktur Eksekutif Indonesian Public Institute (IPI) itu.
Selanjutnya, tambah Karyono, ancaman yang keempat adalah money politic atau politik uang. Rakyat dibebaskan memilih calon pemimpinnya, tapi prosesnya dilakukan dengan menyuap.
“Yang kelima, belanja suara. Orang dapat suara tapi tidak melalui proses pemilihan yang demokratis, jujur dan adil. Bebas tapi dengan cara belanja suara. Kasus belanja suara ini bahkan pernah dibongkar anggota DPR. Bahwa ada beberapa anggota DPR di parlemen terpilih karena melalui belanja suara,” tandasnya.[asp]