Sampai tanggal 11 Maret 2019, Bawaslu telah merilis temuan ada sekitar 6.274 temuan pelanggaran pemilu selama proses kampanye dilakukan sejak September 2018 lalu. 5.985 merupakan temuan dari Bawaslu sendiri, baik dari level pusat sampai ke level daerah, dan dari laporan masyarakat ada 601.
Dari banyaknya pelanggaran tersebut, yang sudah mencapai putusan oleh Bawaslu baru 45 kasus.
Pengamat Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Adi Prayitno mengatakan, kalau itu yang terjadi, maka kemungkinan pelanggaran yang begitu banyak menjelang kampanye rapat umum ini akan semakin terbuka.
“Karena satu, begitu banyak pengaduan, begitu banyak temuan pelanggaran pemiliu, hanya sekian persennya saja yang bisa dieksekusi. Paling tegurannya administratif, tertulis, yang tidak memberikan efek jera yang mengerikan,” kata Adi di Jakarta, Kamis (14/3/19).
Karenanya, kata dia, sebagai bangsa yang sedang memulai satu konsolidasi demokrasi, pemilu di Indonesia ke depan regulasinya mulai harus diperbaharui.
“Terutama menyangkut isu-isu krusial yang selama ini menyebabkan satu tawuran dan kegaduhan opini yang luar biasa,” terangnya.
Adi mengungkapkan, jika dilihat data pelanggaran yang dirilis oleh Bawaslu, itu tidak termasuk hal-hal yang sifatnya bikin gaduh. Menurutnya, yang selama ini bikin gaduh adalah soal hoaks, fitnah dan politik uang.
“Kalau mau ditracking sebenarnya, yang perlu diperkuat basis argumentasi UU kepemiluannya adalah hal-hal yang menyebabkan kekisruhan selama ini,” jelasnya.
“Misal, politik uang, dibikin ketat. Yang kedua tentang hoaks,” tambahnya.
Menurutnya, hoaks, fitnah dan agresifitas verbal, adalah hal yang juga bagian dari intimidasi.
“Kenapa persoalan agresivitas verbal semacam ini gak selesai. Karena memang kita tidak punya satu klausul yang memadai untuk melakukan satu verifikasi apakah ini pelanggaran pemilu atau tidak,” terangnya.
Karenanya dia mengingatkan, agar UU yang dibuat oleh DPR dan pemerintah ke depannya jangan hanya melayani kepentingan partai politik, tapi untuk kepentingan bersama.
“Di level elit mungkin bisa ketawa sambil minum kopi, tapi di level bawah pemilu itu adalah pertaruhan harga diri,” tandasnya.[asp]