Telusur.co.id - Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah mengatakan sampai saat ini belum ada evaluasi terhadap akses penyandang disabilitas pada pendidikan di Indonesia. Padahal, hal ini amanat dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016.

Menurut Ledia Hanifa, meski Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sudah memiliki program untuk siswa penyandang disabilitas, tapi belum optimal pelaksanaannya. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI pun dalam Rapat Kerja dengan Komisi bidang Pendidikan ini, tidak pernah memaparkan hal ini.

“Semestinya ada evaluasi integritas dan penggunaan dalam Program Pendidikan bagi penyandang disabilitas, sehingga tampak seberapa besar keberpihakan pada mereka,” katanya di Gedung DPR, Selasa (16/1/2018).

Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini menjelaskan evaluasinya terkait berapa jumlah siswa penyandang disabilitas di sekolah inklusi, guru yang terlatih, pelaksanaan program pendidikannya serta pencapaian tujuan belajarnya.

“Evaluasi juga regulasi tentang kurikulum di Sekolah Luar Biasa (SLB) terutama untuk penyandang disbilitas rungu dan netra agar tidak tetapkan standar terlalu rendah. Tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) jangan disamakan dengan kelas 1-3 Sekolah Dasar (SD). Mereka punya kemampuan yang memadai,” paparnya.

Dalam penyebaran informasi dan pendidikan, Ledia Hanifa menekankan, badan bahasa pun perlu secara sungguh-sungguh sosialisasikan pengembangan dan sosialisasi bahasa isyarat di masyarakat, sehingga bahasa isyarat jadi bahasa yang dikenali secara luas. Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan juga harus menyediakan, memfasilitasi dan mendistribusikan buku ajar menggunakan huruf braile juga buku bagi penderita autis.  | red |