telusur.co.id - Peraturan Pemerintah (PP) tentang Kesehatan Nomor 28 Tahun 2024 yang mencakup berbagai program kesehatan, termasuk kesehatan sistem reproduksi, telah memicu kontroversi dan kritik dari berbagai kalangan. Salah satu pasal yang menuai banyak perhatian adalah Pasal 103 Ayat (4) butir “e”, yang menyebutkan tentang penyediaan alat kontrasepsi bagi usia sekolah dan remaja. Klausul ini dinilai sangat bias dan berpotensi menimbulkan penafsiran yang liar di masyarakat.
Ketua Lembaga Pendidikan Ma'arif Nahdlatul Ulama (LP Ma’arif NU) DKI Jakarta, Sudarto, menyampaikan kekhawatirannya bahwa klausul ini bisa dianggap sebagai legitimasi hubungan seksual pada anak usia sekolah dan remaja, bukannya mengeliminasi penyebaran HIV/AIDS.
"Alih-alih ingin mengeliminasi penyebaran HIV/AIDS, Pemerintah malah seakan melegitimasi hubungan seksual pada anak usia sekolah dan remaja,” ujar Sudarto kepada awak media di Jakarta, Selasa (6/8/24).
Lebih lanjut, Sudarto meminta kepada Pemerintah untuk merevisi beberapa klausul yang dinilai bias dan berpotensi menimbulkan penafsiran yang salah di masyarakat. Tidak hanya Pasal 103 Ayat (4) butir “e”, LP Ma'arif NU DKI Jakarta juga keberatan dengan Pasal 104 Ayat (2) butir “b”, yang menyebutkan tentang memberikan komunikasi, informasi, dan edukasi dalam “perilaku seksual yang sehat, aman, dan bertanggung jawab”.
"Klausul ini juga harus dipertegas makna seksual yang sehat itu ditujukan kepada siapa? Kalaupun dalih pemerintah seumpama itu semua ditujukan kepada remaja yang sudah menikah, maka klausul pada pasal tersebut harus dipertegas atau bahkan dihilangkan,” tegas Sudarto.
Sudarto juga mengingatkan bahwa PP Kesehatan yang sudah ada sebelumnya, yaitu PP Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi, juga mengatur pelayanan kesehatan reproduksi remaja di Pasal 11 dan Pasal 12, namun tidak menyebutkan penyediaan pelayanan kontrasepsi terhadap remaja.
Menurutnya, mengingat nilai-nilai agama yang kuat dan budaya ketimuran yang mengakar di Indonesia, Pemerintah harus lebih berhati-hati dalam merancang sebuah peraturan agar maksud dan tujuan yang baik tidak terganjal hanya karena salah merumuskan klausul dalam peraturan. [Tp]