Telusur.co.id - Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai, Undang-Undang Pemilu itu tidak adil soal pengumuman surat pemberitahuan tahunan (SPT) pajak. Dimana, kandidat Pilpres dan Pilkada diwajibakn melampirkan SPT-nya, sementara calon legislatif tidak.
Menurut Titi, jika para celeg diberlakukan sama seperti capres-cawapres soal pelaporan SPT lima tahunan, maka masyarakat bisa mengawasi.
“Sebenarnya ada lubang dalam Undang-Undang Pemilu harus kita sempurnakan. Karena sekali lagi kalau soal bicara akuntabilitas kelembagaan demokrasi kan tujuan presiden dibuat sedemikian rupa itu tadi supaya juga akuntabilitas itu mencerminkan proses dari pencalonan,” kata Titi dalam sebuah diskusi di Kawasan Cikini, Jakarta, Kamis (13/9/18)
Titi melanjutkan, dalam Pasal 169 tentang persyaratan capres-cawapres, soal pajak sangatlah spesifik. Dimana, capres-cawapres harus memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan melaporakan pajaknya secar berkala.
“Misal, 5 tahun berturut-turut dia lapor, tetapi dia memiliki NPWP sejak tahun 2000 maka dia dihitung dati tahun 2000 itu untuk presiden,” ungkap Titi.
Namun, untuk calon DPD, DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota tidak diterapkan hal yang sama. Padahal, UU ini untuk Pemilu serentak.
Titi mengaku heran, soal penggunaan dana kampanye dari negara dan sumbangan, para pembuat UU Pemilu sangat cepat membahasnya. Tujuannya agar publik bisa mengetahui dan melihat kewajaran maupun kecocokan antara pendapatan yang diperoleh dan aset yang dimiliki wajib pajak.
“Uniknya Undang-Undang Pemilu kita justru sangat cepat didalam mengatur dalam menyumbang dana kampanye,” tandas Titi.[tp]
Laporan: Noor Muhammad Ikhlas R