PMI Manufaktur Indonesia Kontraksi, Pelaku Usaha Desak Kebijakan Pro Industri - Telusur

PMI Manufaktur Indonesia Kontraksi, Pelaku Usaha Desak Kebijakan Pro Industri

Foto: internet

telusur.co.id - Industri manufaktur Indonesia kembali mendapat tekanan serius. Purchasing Manager’s Index (PMI) Manufaktur Indonesia pada April 2025 anjlok ke level 46,7, menandai fase kontraksi setelah lima bulan bertahan di zona ekspansif. Penurunan tajam ini sekaligus mencerminkan menurunnya kepercayaan pelaku usaha di tengah ketidakpastian global dan serbuan produk impor.

Angka tersebut merosot 5,7 poin dari bulan sebelumnya yang tercatat 52,4, menurut laporan S&P Global. Kontraksi ini menjadi yang terdalam sejak Agustus 2021 dan mempertegas tantangan berat yang dihadapi sektor manufaktur dalam negeri.

“Penurunan ini menunjukkan tekanan psikologis yang kuat terhadap pelaku industri. Perang tarif global, khususnya kebijakan resiprokal Amerika Serikat, serta masuknya produk impor dalam jumlah besar telah memukul rasa optimisme pelaku usaha,” ujar Juru Bicara Kementerian Perindustrian, Febri Hendri Antoni Arief, dalam keterangan resmi di Jakarta, Jumat (2/5).

Febri menjelaskan, survei PMI bukan hanya mencerminkan kondisi operasional, tetapi juga persepsi pelaku usaha terhadap prospek industri. Saat ini, banyak pelaku industri memilih sikap menunggu (wait and see) sambil menanti hasil negosiasi pemerintah Indonesia dengan Amerika Serikat.

“Mereka lebih khawatir terhadap banjir produk dari negara-negara yang terdampak tarif AS dan kini menjadikan Indonesia sebagai pasar alternatif. Ini menjadi ancaman besar bagi industri kita,” katanya.

Kementerian Perindustrian mencatat banyak asosiasi industri yang mulai bersuara dan menyampaikan keluhan. Para pelaku usaha mendesak adanya kebijakan konkret dari pemerintah untuk melindungi pasar domestik dan mendorong daya saing industri nasional.

Sekitar 80% output industri dalam negeri diserap pasar domestik—termasuk belanja pemerintah, swasta, dan rumah tangga—sementara hanya 20% untuk ekspor. Hal ini menunjukkan pentingnya peran pasar dalam negeri yang perlu dijaga dari serbuan barang asing.

“Kami butuh dukungan penuh dari seluruh pemangku kepentingan, terutama kementerian dan lembaga terkait, untuk segera menerbitkan kebijakan yang pro-industri dan pro-investasi. Jangan sampai turunnya permintaan domestik justru diisi produk impor,” tegas Febri.

Tren negatif ini juga terlihat pada Indeks Kepercayaan Industri (IKI) April 2025 yang turun ke level 51,90, dari sebelumnya 52,98 pada Maret. Meskipun masih di zona ekspansi, perlambatan ini menunjukkan sinyal kehati-hatian yang semakin kuat di kalangan pelaku industri.

Penurunan PMI Indonesia tercatat sebagai yang paling tajam dibanding negara-negara lain di kawasan. Beberapa negara Asia lainnya juga mencatat kontraksi, seperti Thailand (49,5), Malaysia (48,6), Jepang (48,5), dan Korea Selatan (47,5). Bahkan negara-negara besar seperti Jerman (48,0) dan Inggris (44,0) juga mengalami kontraksi serupa. Sementara itu, PMI Filipina masih berada di zona ekspansif karena kebijakan domestik yang lebih melindungi sektor industrinya.

Ekonom S&P Global Market Intelligence, Usamah Bhatti, menyebut kontraksi PMI Indonesia kali ini sebagai yang paling tajam sejak Agustus 2021. Ia menyoroti penurunan signifikan dalam penjualan dan output yang mendorong perusahaan mengurangi pembelian, stok, hingga tenaga kerja.

“Dengan rendahnya permintaan dan banyak pekerjaan yang belum terselesaikan akibat stagnasi penjualan, prospek jangka pendek sektor manufaktur Indonesia masih suram,” ujar Bhatti.[iis]


Tinggalkan Komentar