Politik Diametral - Telusur

Politik Diametral


Oleh: Suroto

DALAM memori sosial bangsa ini, terdapat perseteruan politik antara masyarakat tradisionalis dan kaum fundamentalis Islam. Perseteruan ini mewarnai corak politik praktis di Indonesia sampai hari ini. 

Kelompok tradisionalis ini, hari ini adalah Islam Abangan yang membawa sinkritisme terhadap ajaran agama agama sebelumnya seperti Hindu, Budha, dan tradisi lainya kedalam Islam sebagai tempat " persembunyian" mereka. Sementara kelompok fundamentalis Islam membawa ajaran puritanisme syariat Islam. 

Dalam kalkulasi politik praktis, secara kuantitatif kelompok Islam fundamentalis jumlahnya dari sejak dulu hampir tak pernah berubah. Sebut saja angkanya jika diperbandingkan dengan Pemilu I tahun 1955 hingga Pemilu 2019, komposisinya sekitar 30 persen. 

Sementara kelompok tradisionalis ini hitunganya menjadi lebih besar karena mendapat dukungan dari berbagai kelompok minoritas yang merasa mendapat "ancaman secara Ideologis" dari kelompok Islam Puritan. Jadi, hitunganya kurang lebih 70 persen. 

Hanya saja, dalam soal afiliasi politik kepartaian, keduanya tetap tidak pernah solid terbelah secara diametral. Partai partai berbasis sayap ormas Islam terbelah menjadi berbagai partai seperti PPP, PKB, PAN, PKS dan lain lain. Sementara kelompok Tradisionalis ini ada di PDI Perjuangan, Golkar, Gerindra, Hanura, PSI dan lain lain. 

Dalam konteks ini, walaupun partai politik yang ada tidak gambarkan pembelahan kubu secara diametral, tapi strategi politik diametral sepertinya juga digunakan dalam kepentingan politik praktis. Kepentingan politik praktis yang terjadi ini bahkan menjadi bagian dari tarik menarik kepentingan baik dalam pembentukan opini ataupun kepentingan politik praktis perebutan jabatan. 

Sebut saja misalnya dengan munculnya dua kelompok yang disebut Kubu Kampret/Kadrun (kelompok puritan) sebagai vice versa Kelompok Cebong (Pendukung Pemerintah Jokowi dan Partai Pemenang PDI Perjuangan). Politik diametral ini sepertinya terus dipelihara oleh kedua kubu politik. 

Bahkan, penulis menduga sengaja dimanfaatkan oleh banyak kepentingan. Baik itu oleh politisi yang berkuasa seperti Presiden Jokowi sendiri dan juga berbagai kelompok kepentingan globalis Internasional. 

Presiden Jokowi yang tidak berasal dari partai politik tentu perlu tetap menjaga basis pendukungnya. Basis dukungan ini diwujudkan dengan ciptakan para lover (pecinta) untuk mencounter para hater (pembenci). Semakin besar dukungan lover, atau setidaknya dominasi opini publik yang diciptakan melalui buzzer pendukung Jokowi akan menjadikan posisi tawar Jokowi di tangan partai pendukungnya menjadi besar.  

Dukungan lover yang hampir bisa dibilang sebagai Jokowimania akhirnya ketika dikomodifikasi justru berhasil kendalikan berbagai kekuatan politik yang saat ini nyaris sempurna dalan penguasaan politik di Parlemen. Bukti terakhir adalah diketoknya UU Ciptakerja yang kontroversial dan memuluskan kepentingan para plutokrat atau elit kaya nasional dan tentu kepentingan kapitalis global. 

Politik diametral yang opininya dimendangkan oleh kelompok Cebong saat ini sebetulnya sangat menguntungkan bagi setidaknya: Jokowi. Lalu juga Partai PDI Perjuangan dan Kelompok Kapitalis Global. 

Bagi Jokowi, dia bisa kuasai parlemen dan kendalikan "Kemauan" PDI Perjuangan. Tapi bagi PDI Perjuangan, kelompok Kadrun yang over agresif dan timbulkan banyak ancaman bagi kebebasan juga akan justru memperkuat basis elektrolalnya. "Habaib Rizieq" adalah merupakan harta karun PDI Perjuangan yang ditemukan oleh PDI Perjuangan. 

Kepentingan kapitalis global adalah untuk memuluskan kepentingan mereka dengan biaya yang relatif murah dengan hanya cukup memelihara politik diametral yang terjadi agar masyarakat energinya tidak lagi mencukupi untuk memberikan kritik terhadap regulasi dan kebijakan yang pro pada kepentingan mereka. 

Politik diametral hari ini sepertinya akan terus terjaga hingga musim politik 2024. Kemungkinan perubahan konstelasinya hanya terdengar sayup sayup dari suara beberapa kelompok masyarakat sipil (yang tidak terakomodasi dalam kepentingan kekuasaan) dan juga kelompok anak muda Generasi milenial dan Generasi Zet yang mulai jenuh dan muak melihat praktik Plutogarkhi atau kuasa ditangan elit politik dan elit kaya yang sudah pada tahap sublim hari ini. 

Namun, yang patut diperhitungkan adalah, dua generasi inilah yang akan menentukan karena mereka adalah bonus bagi struktur demografi kita. Pemilik suara syah dominan tahun politik 2024.[***] 


Tinggalkan Komentar