Prof Laksanto Ingatkan Penerapan MBG Di Papua Pertimbangkan Kearifan Lokal - Telusur

Prof Laksanto Ingatkan Penerapan MBG Di Papua Pertimbangkan Kearifan Lokal

Prof. Dr. Laksanto Utomo, S.H., M.Hum, Guru Besar Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya, yang juga Ketua Tim Peneliti Sagu Papua (foto : ist)

telusur.co.id -Prof. Dr. Laksanto Utomo, S.H., M.Hum, Guru Besar Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya, yang juga Ketua Tim Peneliti Sagu Papua, menyikapi demo para pelajar Papua di beberapa daerah, baik Papua Pegunungan dan pantai, yang berisi menolak Program Makan Bergizi Presiden Prabowo, dan lebih memilih PENDIDIKAN GRATIS , sebaiknya Pak Prabowo " bijak " , dan mempertimbangkan ulang.

"Masyarakat Papua pantai makanan pokoknya adalah Sagu dan Masyarakat Papua Pegunungan adalah umbi-umbian. Sesuai penelitian saya, SAGU adalah makanan pokok Masyarakat Papua. Penelitian saya di daerah Papua dan Sentani , hasil penelitian yang didanai dikti tentang ketahanan pangan Sagu masyarakat Papua sehubungan kearifan lokal , patut di rujuk Kabinet Pak Prabowo dalam mengambil kebijakan," tutur Prof. Laksanto.

"Demo para pelajar Papua, lanjut Prof. Laksanto, kiranya menjadi masukan agar program Makan Bergizi untuk Papua diberikan pengecualian, agar tetap mempertimbangkan makanan yang berbasis Kearifan Lokal khususnya Di Papua, semoga," ujarnya.

Sagu atau Metroxylon sagu Roth merupakan salah satu makanan pokok masyarakat Papua yang erat kaitannya dengan budaya masyarakat setempat atau kearifan lokal.

"Bagi masyarakat Papua, sagu adalah makanan pokok salah satu representasi budaya masyarakat atau kearifan lokal Papua yakni pohon sagu," kata Laksanto Utomo, Ketua Tim Peneliti Sagu Papua, menyampaikan hasil penelitian timnya di Jakarta, Selasa (9/7) lalu.

Sagu merupakan makanan pokok bagi masyarakat Papua yang sudah turun temurun sejak nenek moyang mereka mengenal cocok tanam. Sedangkan sagu terkait kearifkan lokal karena bukan hanya menjadi sumber bahan pangan pokok, tetapi tiap bagian pohonnya digunakan masyarakat untuk berbagai keperluan hidup, misalnya akarnya menjaga tata air, batangnya untuk kayu hingga berbagai kerajinan tangan, serta daunnya untuk atap rumah hingga makanan ternak dan obat.

Selain itu, lanjut Laksanto, dalam Focus Group Discussion (FGD) bertajuk "Inovasi Sagu Sebagai Makanan Pokok dan Bahan Dasar Makanan dalam Menciptakan Ketahanan Pangan Masyarakat Adat di Papua", patinya untuk makanan pokok serta menjadi sumber berbagai bahan baku industri pangan, kosmetik, energi altenatif (biotanol), dan lainnya.

Permasalahan timbul ketika masyarakat Papua "migrasi" ke nasi akibat berasisasi pada era Orde Baru (Orba). "Jadi harusnya pemerintah pusat dulu tidak terlalu dalam tentukan makanan pokok, harus ke kearifkan lokal," ujarnya.

Bukan hanya itu, lahan sagu juga mulai terganggu atau berkurang akibat berbagai kebijakan terkait pembangunan dan berbagai hal lainnya. Bahkan, diprediksi sekitar 2.832 hektare lahan hutan sagu akan terkikis oleh pembangunan.

"Artinya, lahan yang tersisa tinggal 470,5 hektare di 6 distrik, Kabupaten Jayapura. Rincian potensi lahan yang hilang dari 6 distrik itu lebih dari 70%," katanya.

Lebih mengerikan lagi, lanjut Laksanto, di Distrik Sentani Barat dan Demta disebutkan potensi lahan sagu akan lenyap 100%. Sementara di Sentani yang hutan sagunya paling besar, prediksi kehilangannya juga besar menjadi 1.507 hektare atau terkikis hingga sekitar 77%.

Sementara itu, Dekan Fakultas Hukum Universitas Cendrawasih (Uncen) Papua, yang saat itu dijabat Dr. Hendrik H.J. Krisifu (alm), yang menjadi penanggap dalam FGD beberapa tahun lalu menyampaikan, di Papua itu terdapat sejumlah makanan pokok selain sagu, yakni umbi-umbian di antaranya keladi dan petatas.

Makanan pokok masyarakat adat Papua tergantung zonasi mereka berada. Masyarakat adat yang ada di zona pegunungan tinggi dan zona kaki gunung dan dataran tinggi mengonsumsi umbi-umbian.

"Zona rawa-rawa konsumsi sagu. Zona dataran rendah pesisir pantai dan pulau-pulau konsumsi umbi-umbian dan sagu," ungkapnya.

Senada dengan Laksanto, Hendrik mengungkapkan, sudah ada regulasi yakni peraturan pemerintah daerah (perda) untuk mencegah terganggunya lahan atau hutan sagu. Pertama, Perda Kabupaten Jayapura Nomor 3 Tahun 2000 tentang Pelestarian Kawasan Hutan Sagu dan Perda Provinsi Papua Nomor 27 Tahun 2013 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Pokok Berkelanjutan.

Namun aturan itu tidak berjalan sesuai harapan. Sebaliknya, berasisasi menjadikan masyarakat Papua beralih dari makanan pokoknya. Hendrik memperkirakan kemungkinan 80-90% warga sudah beralih ke nasi.

Bukti sudah tingginya konsumsi beras di Papua, lanjut Hendrik, masyarakat sempat melakukan aksi unjuk rasa ketika terjadi keterlambatan beras raskin. "Kalau persentasinya saya tidak tahu persis tapi kalau melihat seperti itu, 80-90%," katanya.

Ketua LPPM Usahid Jakarta, Prof. Dr. Ir. Hj. Giyatmi, juga selaku penanggap hasil penelitian, menyampaikan, sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2012 hasil revisi dari UU Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, ketahanan pangan terwujud dari kedaulatan dan kemandirian pangan.

Giyatmi mengungkapkan, tingginya konsumsi beras di Indonesia seiring berasisasi puluhan tahun lalu mengakibatkan pemerintah harus menjaga komoditas ini. Jika tidak terpenuhi dari dalam negeri, maka dilakukan impor.

"Beras sebagai makanan pokok bangsa Indonesia secara umum, beras itu komoditas ekonomi tetapi juga sekaligus komiditas politik karena begitu stabilitas terganggu sedikit saja, demo mungkin bisa sampai pada impeach, misalkan. Ini komoditas yang sangat dijaga," ujarnya.

Menurut Giyatmi, sesuai indeks ketahanan pangan yang dirilis The Economist Intelligence Unit (EIU) bahwa peringkat Indonesia terus membaik. Pada tahun 2016 berada di posisi 71 dari 133 negara. Kemudian, naik ke peringkat 69 pada 2017 dan tahun 2018 ke peringkat 58. "Jadi trennya positif," katanya.

Sedangkan untuk peringkat pertama negara yang mempunyai ketahanan pangan terbaik adalah Singapura. Negeri singa itu menempati posisi teratas karena indeks ketahanan pangan ini tidak menyoal darimana asal pangan itu, apakah produksi sendiri atau impor.

"Rangking pertama dunia adalah Singapur. Dia tidak punya lahan, 90% komoditas pangannya adalah impor. Tapi kenapa punya pangan? Karena mereka punya duit sehingga bisa beli," ujarnya.

Giyatmi mengungkapkan, ada sejumlah hal yang menyebabkan berkurangnya produksi pangan, di antaranya menyusutnya lahan dan tingginya kehilangan pascapanen. Ini menjadi tantangan para akademisi dan teknolog untuk membuat teknologi yang bisa meminimalisir.

Selanjutnya, faktor tingginya urbanisasi ?dari daerah ke kota seiring menurunnya minat generasi muda untuk menjadi petani sehingga beberapa tahun lalu fakultas pertanian sejumlah perguruan tinggi sempat tutup akibat sepi peminat.

"Data ketahanan pangan dari BKP ini dilihat perkembangan 2015-2018, hijau ketahanan pangan bagus, kuning rentan, Papu merah karena ukurannya beras. Ini terkait karena zamannya Pak Harto, belum sejahtera bila belum makan nasi," ungkapnya.

Berasisasi berdampak beralihya warga Papua dari mengonsumsi sagu atau umbi-umbian. Untuk mengembalikannya, memerlukan upaya jitu, di antaranya pengembangan atau inovasi industri pangan lokal yang aman, bergizi, sehat hingga soal kehalalan.

Menurutnya, harus ada upaya untuk mengembalikan ke pangan lokal melalui berbagai modifikasi olahan makanan. Ini juga harus dibarengi dengan peningkatan jumlah produksi pangan lokal. Pasalnya, pada 2030 mendatang jumlah penduduk Indonesia akan mencapai sekitar 300 jiwa sebagaimana prediksi dari Badan Pusat Statistik (BPS).

Dengan jumlah tersebut bisa dibayangkan berapa banyak beras yang harus disediakan dan dicadangkan. Jika rata-rata konsumsi beras 124 kg per kapita per tahun, maka Indonesia diperkirakan memerlukan 37,2 juta ton untuk dikonsumsi.

Angka tersebut menjadikan Indonesia harus memiliki lahan seluas 11 juta hektare dengan asumsi produktivitas padinya minimal 5,3 juta ton per hektare dan menghasilkan beras sebanyak 37,2 juta ton. Tapi semakin banyaknya penduduk, lahan pertanian pun berkurang di antaranya alih fungsi lahan menjadi perumahan dan sebagainya.

"Terpenuhi atau tidak Sudah saatnya Indonesia memiliki sumber karbohidrat beraneka ragam, memanfatkan secara optimal kearifan lokal salah satunya adalah sagu," ungkapnya.

Dari sisi karbohidrat, sagu lebih tinggi dari beras karena mengandung 85% sementara beras hanya 79%, kalorinya juga tidak kalah sekitar 300-an, kaya serat sehingga baik bagi penderita pencernaan, dan bagus untuk penderita diabetes.

Wakil Dekan Fakultas Teknologi Pangan dan Kesehatan Usahid Jakarta, Dr. Rahmawati, mengatakan, bahwa sesuai hasil penelitian yang dipaparkan Laksanto, Papua menjadi daerah sagu terluas di dunia.

"Sagu penunjang untuk perkonomian. Ketersedian sagu ini sangat besar, 55% sagu dunia ada di Indonesia. Jadi lebih 50% ada di Papua. Sagu memang satu modal untuk ketahanan pangan Indonesia," katanya.

Untuk menarik masyarakat kembali ke sagu, tentu harus melakukan modifikasi, misalnya menjadi beras analog yang saat ini sedang populer. Namun, untuk saat ini bahannya baru dari jagung dan umbi-umbian. "Ini bisa lebih dikaji untuk penerapan di sagu," katanya. (fie) 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Tinggalkan Komentar