telusur.co.id -Krisis sampah plastik masih menjadi isu serius di Indonesia. Tak hanya menumpuk di darat, limbah plastik juga mencemari kawasan pesisir dan perairan. Menyikapi kondisi tersebut, Guru Besar ke-235 Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Prof. Dr. rer. nat. Ir. Maya Shovitri, M.Si., melakukan riset terhadap bakteri mangrove dari kawasan Wonorejo, Surabaya, yang berpotensi mendegradasi limbah plastik.
Profesor dari Departemen Biologi ITS ini menjelaskan bahwa wilayah perairan Indonesia tidak hanya menjadi habitat ikan, fitoplankton, dan zooplankton, namun juga berbagai mikroorganisme. Salah satunya adalah bakteri yang memiliki kemampuan metabolisme unik untuk mendaur ulang material organik maupun anorganik.
“Kemampuan ini menyebabkan bakteri dapat bertahan hidup dalam kondisi ekstrem, salah satunya bertahan di tumpukan limbah plastik,” bebernya.
Mengandalkan keahliannya di bidang mikrobiologi, Maya telah menekuni riset tentang biodegradasi plastik sejak 2013. Ia memfokuskan penelitiannya di wilayah pesisir mangrove Wonorejo, yang dikenal sebagai titik akumulasi sedimen dan sampah plastik.
“Wilayah ini menjadi habitat ideal untuk menemukan bakteri spesifik yang mampu bertahan sekaligus mendegradasi plastik,” jelasnya.
Dalam penelitian tersebut, Maya menggunakan berbagai metode untuk memperoleh isolat bakteri dan mengukur efektivitas biodegradasi. Beberapa teknik yang diterapkan antara lain Winogradsky column, soil burial, dan overlying water. Ia menggunakan potongan plastik kresek yang dimasukkan ke dalam sedimen terkontaminasi limbah dan air laut yang mengandung berbagai jenis bakteri.
“Proses ini memungkinkan bakteri untuk beradaptasi dan selanjutnya melakukan degradasi,” tambahnya.
Setelah bakteri berhasil diisolasi, proses dilanjutkan dengan karakterisasi biokimia dan molekuler melalui analisis gen 16S rRNA. Hasil penelitian menemukan beberapa genus bakteri seperti Bacillus, Brevibacillus, Lysinibacillus, dan Pseudomonas yang mampu menghasilkan enzim penting seperti lipase, alkane hidroksilase, dan enzim ligninolitik.
“Proses ini mampu menurunkan berat kering plastik sebanyak 12 persen selama 16 minggu,” tuturnya.
Maya menambahkan, riset ini dapat dikembangkan lebih lanjut pada identifikasi gen-gen penghasil enzim degradasi, serta studi tentang faktor abiotik yang memengaruhi efektivitas kerja enzim. Menurutnya, semakin sesuai kondisi lingkungan yang diciptakan, maka tingkat degradasi plastik akan semakin optimal.
Riset ini tak hanya memperkaya kajian biodiversitas mikroorganisme tropis dan biologi molekuler, tetapi juga mendukung pengembangan bioteknologi hijau yang menawarkan solusi ramah lingkungan. Hal ini sejalan dengan target Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya poin 12 (Konsumsi dan Produksi yang Bertanggung Jawab), poin 14 (Ekosistem Lautan), dan poin 15 (Ekosistem Daratan).
Sebagai mantan Kepala Departemen Biologi ITS periode 2011–2015, Maya berharap agar hasil penelitiannya bisa dimanfaatkan lebih luas menjadi produk yang mendukung ekonomi biosirkular, sekaligus menciptakan lingkungan yang sehat dan berkelanjutan.
“Sehingga dari ekosistem mangrove, kita bisa menemukan jawaban untuk tantangan global terkait pencemaran limbah plastik,” tutupnya.