Telusur.co.id - Oleh: Anis Matta
Di Dunia Islam, ada sambutan besar atas kemenangan Taliban dan penarikan mundur pasukan Amerika Serikat dari Afghanisntan. Dulu Mujahidin mengalahkan Uni Soviet. Sekarang Taliban mengusir AS seperti dulu bangsa Vietnam mengusir mereka.
Tapi cerita keseluruhannya tidak akan sama dengan apa yang tampak di depan mata. Uni Soviet runtuh setelah kekalahan di Afganistan. Invasi itu memang kesalahan staregis yang sangat fatal karena menyedot sumber daya dan mendemoralisasi spirit militer dan rakyat.
Berbeda dengan imperialisme Eropa sebelumnya dimana negara penjajah menyedot sumberdaya negara jajahan, Uni Soviet justru menyebar sumber dayanya untuk mempertahakankan “integritas teritorial” negara-negara yang sudah diinvasinya. Kelak ini menjadi akar kesimpulan bahwa sistem komunisme tidak bisa bekerja secara efektif, karena tidak ada pertumbuhan kolektif yang bisa diredistribusi. Jadi wilayah teritori Uni Soviet sebagai imperium sangat luas tapi ukuran ekonominya sangat kecil. Mereka “berbagi kemiskinan dan opium”, bukan berbagi kesejahteraan.
Kelak fakta dasar itu yg menjadi alasan China di bawah Deng Xiaoping beralih ke kapitalisme dengan mendefinisikan ulang sosialisme sebagai cara berbagi kesejahteraan, bukan berbagi kemiskinan.
Tapi penarikan pasukan AS dari Afganistan (dan sebelumnya dari Irak serta mungkin setelahnya dari Syria dan Teluk) adalah “koreksi atas kesalahan strategis”. Sama persis dengan keterlibatan dalam Perang Vietnam (1955-1975). Itu perang yang sia-sia karena didorong eforia kemenangan pada Perang Dunia II. Bahkan Perang Korea juga bagian dari eforia itu. Tidak ada target spesifik yang mengharuskan mereka hadir di sana, termasuk ide melawan penyebaran komunisme.
Itu perbedaan yang sangat fundamental. Lalu apa yg salah? Isu “perang melawan terorisme” adalah narasi yang gagal menciptakan “musuh bersama”. Ongkosnya terlalu besar, pengelolaan medianya buruk, Eropa sebagai sekutu utama tidak semangat untuk terlibat jauh. Citra AS sebagai pemimpin global makin terpuruk dan kehilangan kepercayaan dari sekutu Eropa.
Dan yang lebih penting adalah bahwa narasi itu tidak menjawab masalah inti masyarakat AS yang jauh lebih rumit, yaitu persoalan ekonomi dalam negeri AS sendiri. Ketimpangan ekonomi, penciutan kelas menengah dan munculnya Kulit Putih Miskin, adalah ancaman laten yang berpotensi menciptakan revolusi sosial dan menjadi lahan subur bagi tumbuhnya ideologi sosialisme.
Bush Senior kalah dalam pilpres 1992 melawan Clinton justru setelah memenangkan Perang Teluk 1991. Itu karena isu ekonomi. “It’s the economy, stupid!” adalah jargon paling efektif mewakili kebosanan generasi baru AS yang berada dalam tekanan Perang Dingin selama 45 tahun. Bush Senior yang mantan direktur CIA gagal membaca “public mood” generasi baru AS.
Periode Bush Junior (2000-2008) juga ditutup dengan ledakan krisis finansial global tahun 2008. Itu mengantarkan kemenangan bagi Obama (2008-2016). Dan sejak itu ide perang melawan teror menjadi tidak relevan. Masalah ekonomi domestik menciptakan “polarisasi elite dan rakyat” sekaligus. Itu bisa jadi ancaman Perang Saudara seperti yang sebelumnya pernah mereka alami.
Tapi Obama juga tidak bisa menyelesaikan masalah itu dalam dua periode kepresidennya. Dan itulah yang memberi peluang bagi kemenangan Trump pada 2016. Obamacara tidak menyentuh isu ketimpangan ekonomi secara susbtansial. Ada terlalu banyak kontradiksi dalam sistem ekonomi neoliberal AS yang telah melahirkan residu sosial yang sangat berbahaya. Finansialisasi ekonomi, peralihan industri manufaktur ke luar AS khususnya Asia, sebagai contoh, telah mengubah bukan saja struktur ekonomi AS, tapi juga struktur sosialnya. Kelas menengah yang hampir 70% dan menjadi sebab stabilitas politik AS, menciut drastis dan muncul fenomena baru: Kelas Putih Miskin.
Karena itu selama periode Bush (2000-2008), AS membuat Departemen Keamanan Dalam Negeri (Homeland Security) sebagai antisipasi terhadap kemungkinan revolusi sosial yang tidak terkendali. Itu jelas berbeda dengan jargonnya melawan teroris. Karena isu ketimpangan itu riil, sementara isu terorisme itu abstrak.
Tapi selama periode Obama (2008-2016) ada perubahan besar pada visi global AS. Musuh mereka bukan lagi teroris, tapi China dan Rusia. Terorisme adalah musuh imajiner yang tidak memiliki kekuatan apa-apa. Tapi China dan Rusia adalah musuh riil yang punya kekuatan ekonomi, teknologi dan militer berskala besar.
Bisa dibilang sebenarnya Amerikalah yang membesarkan China dan kini menganggapnya sebagai masalah. Tapi China berbeda dengan Jepang dan Jerman yang dibangun AS setelah PD II. Kedua negara itu takluk dalam perang dan paling tidak dalam jangka waktu lama tidak akan memiliki ambisi imperial. China jelas memiliki ambisi imperial itu. China dipisahkan dari Uni Soviet lalu ditarik masuk ke dalam sistem kapitalisme. China menikmati investasi, teknologi, dan pasar AS dan Eropa sekaligus. Ada peralihan industri manufaktur dari AS ke China dalam skala sangat besar. Sekarang kelas menengah kulit putih AS kehilangan pekerjaan, tapi China justru menyaksikan pertumbuhan kelas menengah baru.
Itulah paradoksnya. Itulah kontradiksinya. Maka pada pilpres AS tahun 2016, kita menyaksikan dua fenomena penting. Kemenangan Trump mewakili kebangkitan Trumpisme: kulit putih miskin yang terlempar dari kelompok kelas menengah. Sementara walaupun tidak jadi kandidat presiden Partai Demokrat, Berni Sanders mewakili kebangkitan generasi baru AS yang percaya pada sosialisme.
Yang sama pada semua kandidat adalah semangat Anti-China. Walaupun Trump kalah pada 2020 lalu, semangat itu telah menjadi doktrin formal negara dan narasi yang dipercaya rakyat AS sebagai alasan kebangkitan baru mereka.
Jadi di tengah problematika sosial, ekonomi dan politik domestik itu, keberadaan pasukan AS di Timur Tengah dan Asia Tengah memang menjadi sangat tidak relevan. Memang harus ditarik. Itu ongkos kedigdayaan yang sia-sia belaka.
Tapi bagaimana mempertahankan dominasi global AS selanjutnya? Itulah inti dari semua cerita ini selanjutnya.
AS akan fokus pada konsolidasi sekutu utama di Atlantik (Eropa) dan Pasifik (Jepang, Australia, India, plus Korsel dan Taiwan). Sementara masalah kawasan diberikan kepada kekuatan kawasan. Turki, misalnya, bisa diandalkan untuk Asia Tengah, Timur Tengah dan Afrika Utara. Turki bisa berperan sebagai sekutu regional AS di kawasan yang dulu merupakan wilayah imperium Ottoman.
Bagi AS, strategi geopolitik itu bisa mengurangi intervensi teritorial dan mengandalkan sekutu regional. Ada efesiensi finansial, kesempatan untuk melakukan konsolidasi sekutu global dan perbaikan citra sebagai pemimpin dunia.
Kunjungan Biden beberapa waktu lalu ke Eropa relatif berhasil mengkonsolidasi sekutu utama AS. Begitu juga pertemuan bilateral dengan Erdogan sebagai anggota NATO dengan peran baru Turki di kawasan.
Jadi Afganistan di bawah Taliban akan sangat dipengaruhi secara ideologi dan politik Turki, dan tentu juga Pakistan sebagai sandaran teritori Taliban sebelumnya. Tapi respons Iran, Rusia dan China juga pasti menentukan bagi Taliban.
Yang pasti “bisul” dalam strategi global AS sudah pecah. Nasibnya tidak akan sama dengan Uni Soviet. AS justru lebih solid secara domestik setelah mundur dari Afghanistan. Mereka bisa fokus ke perbaikan ekonomi domestik untuk menghilangkan residu Trumpisme. Dan fokus ke China. Tapi yang tersisa di Asia Tengah justru residunya. Itulah yang sekarang jadi masalah bagi Turki, Pakistan, China, Rusia dan Iran.
Ada residu lain. Ribuan agen/pekerja AS dari warga Afganistan bersama keluarga mereka akan dipindahkan ke beberapa negara Teluk seperti UAE, Arab Saudi dan Qatar. Dulu AS yang bayar, giliran yang lain.
Salah satu kelebihan demokrasi AS adalah mereka membuka diri untuk semua kritik internal dan “perbaikan strategi” secara berkesinambungan tanpa harus merasa bersalah atau kalah.