telusur.co.id - Ketua MPR RI yang juga Wakil Ketua Umum Partai Golkar, Bambang Soesatyo, kembali merilis buku terbaru ke-32 berjudul 'Konstitusi Butuh Pintu Darurat: Urgensi Memulihkan Wewenang Subjektif Superlatif MPR RI'.
Konten buku ke-32 ini merupakan pemikiran dan kajian Bamsoet atas isu-isu krusial seputar konstitusi dan kebutuhan akan mekanisme kedaruratan, utamanya ketika negara-bangsa butuh jalan keluar yang konstitusional. Dalam pandangan Bamsoet, sangat penting bagi MPR memiliki kembali wewenang subjektif superlatif. Dengan wewenang ini, MPR RI memiliki kuasa membuat, menerbitkan dan memberlakukan Ketetapan (Tap) MPR yang bersifat mengikat (regeling). Tap MPR yang bersifat mengikat itu menjadi solusi manakala negara-bangsa dihadapkan pada berbagai kebuntuan, seperti kebuntuan konstitusi, kebuntuan politik, dan bahkan kebuntuan hukum.
"Melalui buku ini, saya menawarkan gagasan terkait tantangan-tantangan yang dihadapi oleh konstitusi kita pasca amendemen. Sebagaimana diketahui, empat kali amendemen UUD 1945 itu telah mengamputasi kewenangan-kewenangan MPR, dan bahkan status MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara. Di buku ini, saya menganalisa dan membahas urgensi mengembalikan semua wewenang MPR sebagaimana sebelum amendemen UUD 1945. Pemulihan wewenang MPR dapat menjadi instrumen penting untuk memastikan fondasi demokrasi dan stabilitas negara tetap terjaga," kata Bamsoet di Jakarta, Jumat (10/11/2023).
Ketua Dewan Pembina Perhimpunan Alumni Doktor Ilmu Hukum Unpad serta dosen pascasarjana program doktoral S3 Hukum Universitas Borobudur dan Universitas Pertahanan (UNHAN) ini mengajak masyarakat, para akademisi, praktisi hukum, dan semua pihak yang peduli terhadap masa depan konstitusi Indonesia untuk membaca dan mendiskusikan buku ini.
'Konstitusi Butuh Pintu Darurat', menurut Bamsoet, tidak hanya memberi wawasan mendalam, tetapi juga membangun jembatan bagi diskusi yang lebih luas tentang pentingnya mekanisme darurat dalam konstitusi untuk menjaga stabilitas negara-bangsa, sebagaimana halnya presiden bisa mengeluarkan Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang) dalam kondisi darurat tertentu.
"Penguatan fungsi dan kewenangan MPR sangat diperlukan untuk mengantisipasi terjadinya kedaruratan politik dan konstitusi di Indonesia. Tujuan lain yang tidak kalah pentingnya adalah menghadirkan sistem hukum ketatanegaraan yang efektif, solutif, dan komprehensif agar bangsa Indonesia selalu dimampukan mengelola dan mengatasi aneka krisis, termasuk krisis politik dan krisis konstitusi," papar Bamsoet.
Salah satu aspek yang membedakan isi buku ini dari kajian-kajian akademis lain adalah pendekatan holistik yang ditawarkan Bamsoet. Doktor Bidang Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran dengan yudisium Cumlaude itu tidak hanya meninjau mekanisme darurat dari sudut pandang hukum, tetapi juga dari perspektif politik, sosial, dan moral. Hal ini memberikan wawasan yang komprehensif dan memungkinkan pembaca untuk memahami kompleksitas isu ini secara lebih baik.
Buku dengan sub judul 'Urgensi Memulihkan Wewenang Subjektif Superlatif MPR RI' ini tidak hanya berfokus pada teori, tetapi juga memberikan contoh konkret dan studi kasus untuk mendukung argumen yang diajukan. Pembaca akan mendapati analisis mendalam tentang situasi-situasi di mana mekanisme darurat dapat menjadi penting dan bagaimana hal itu dapat diimplementasikan dengan bijak.
Dalam buku ini, Dosen Tetap Pascasarjana Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Borobudur dan Universitas Pertahanan (UNHAN) ini juga memaparkan pengalaman dan pengetahuannya sebagai Ketua MPR, selain tentu saja sebagai Ketua DPR ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR RI yang membidangi Hukum, Keamanan dan HAM. Hal ini memberikan perspektif yang unik dan berharga tentang permasalahan yang dikemukakan. Sebagai politisi, praktisi dan dosen ilmu hukum, Bamsoet dalam buku ini juga menunjukkan komitmennya yang kuat terhadap prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan.
Aspek lain yang menarik dari buku ini adalah bahasa yang mudah dipahami, meskipun membahas topik yang berat dan rumit. Bamsoet berharap, buku ini bisa dimengerti dengan mudah oleh berbagai kalangan, termasuk mereka yang tidak memiliki latar belakang hukum atau mendalami ilmu politik.
Pada bagian akhir buku ini, Bamsoet menambahkan beberapa hasil kajian terkait Tap MPR yang dilakukan Badan Pengkaji MPR RI dan DPD RI. Tujuannya, memberi gambaran kepada publik tentang persoalan krusial konsitusi akibat amendemen pernah menjadi perhatian pimpinan MPR era terdahulu.
Bagian terpenting yang belum dilakukan adalah keberanian mengeksekusi pemulihan wewenang MPR. Sudah barang tentu bahwa proses mengembalikan wewenang MPR itu harus melalui mekanisme dalam koridor hukum, dengan tetap mengedepankan kehati-hatian.[iis]