telusur.co.id - Di kalangan warga yang tahu Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) yang memutus perkara batas usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres), Anwar Usman, adalah paman Gibran Rakabuming Raka, elektabilitas Anies-Muhaimin 31 persen, Prabowo-Gibran 32 persen, Ganjar-Mahfud 26 persen, dan tidak jawab 11 persen.
Demikian temuan survei Saiful Mujani Research and Consulting yang dilakukan pada 29 Oktober – 5 November 2023. Hasil survei ini disampaikan Prof. Saiful Mujani pada program ‘Bedah Politik bersama Saiful Mujani’ episode “Masalah MK dan Elektabilitas Capres-Cawapres” di kanal Youtube SMRC TV pada Kamis, 30 November 2023.
Video utuh presentasi Prof. Saiful bisa disimak di sini: https://youtu.be/X3ikaUftPbA
Saiful menjelaskan bahwa, keputusan MK tentang batas usia capres dan cawapres masih terus menjadi bahan pembicaraan karena hal itu terkait dengan pemilu yang akan dilaksanakan sekitar dua bulan lagi.
Menurut Saiful, sampai pemilu selesai, ada kemungkinan isu mengenai keputusan MK terkait batas usia tersebut akan terus bergulir. Sampai saat ini, para aktivis, intelektual, media, dan pegiat media sosial terus menyoroti persoalan tersebut.
Pertanyaan pertama survei tersebut adalah tentang pengetahuan publik tentang keputusan MK bahwa batas umur calon presiden dan wakil presiden adalah 40 tahun kecuali yang pernah menjadi atau sedang menduduki jabatan melalui pemilihan umum (elected officials). Apakah publik mengetahui keputuhan MK tersebut?
Saiful mengemukakan bahwa, Majelis Kehormatan MK yang memutuskan memberhentikan Ketua MK, Anwar Usman, karena melakukan pelanggaran etik berat dalam proses pengambilan keputusan tentang batas usia capres/cawapres menunjukkan adanya persoalan serius dalam keputusan MK tersebut.
Apakah publik tahu bahwa, Ketua MK yang memutus perkara permohonan untuk meninjau kembali soal umur tersebut adalah paman Gibran? Kalau tahu, apakah itu punya pengaruh pada elektabilitas pasangan Prabowo-Gibran?
Survei SMRC yang dilakukan pada 29 Oktober - 5 November 2023, ada 40,5 persen publik yang tahu keputusan MK terkait usia capres/cawapres. Yang tidak tahu sebesar 59,5 persen.
Dari yang tahu, 24 persen memilih Anies-Muhaimin, 23 persen Ganjar-Mahfud, 42 persen Prabowo-Gibran, dan 10 tidak menjawab atau tidak tahu. Sementara dari 59,5 persen yang tidak tahu, 15 persen memilih Anies-Muhaimin, 25 persen Ganjar-Mahfud, 47 persen Prabowo-Gibran, dan tidak jawab 12 persen.
Data ini, menurut Saiful, menunjukkan ada efek pengetahuan publik tentang keputusan MK pada elektabilitas. Pada kelompok pemilih yang tahu, suara Prabowo-Gibran lebih lemah dibanding pada kelompok yang tidak tahu: 42 dan 47 persen. Pada Anies-Muhaimin, suara pada kelompok yang tahu lebih kuat dibanding yang tidak tahu: 24 dan 15 persen. Sementara efek tahu keputusan MK tidak terjadi pada suara Ganjar-Mahfud: 23 dan 25 persen.
Saiful menyatakan bahwa, potensi Prabowo-Gibran menang satu putaran di kalangan pemilih yang tidak tahu isu keputusan MK cukup besar.
“Kalau semua atau hampir semua orang tidak tahu keputusan MK tersebut, probabilitas Prabowo-Gibran menang satu putaran cukup besar. Suara Prabowo di kelompok yang tidak tahu 47 persen, selain mereka 40 persen, sementara yang tidak jawab 12 persen. Kalau yang tidak jawab itu dibagi secara proporsional, maka Prabowo-Gibran akan mendapatkan suara di atas 50 persen,” tutur Guru Besar Ilmu Politik UIN Jakarta tersebut.
Karena itu, menurut dia, isu keputusan MK untuk pemilihan presiden sangat penting secara elektoral. Kalau isu tentang keputusan MK tersebut semakin banyak diketahui oleh publik, maka Anies-Muhaimin akan mendapatkan tambahan keuntungan elektoral dan akan mengurangi suara bagi Prabowo-Gibran.
“Isu keputusan MK (secara elektoral) lebih menjadi isu persaingan antara Anies-Muhaimin dan Prabowo-Gibran,” papar Prof Saiful.
Dari yang tahu tentang keputusan MK tersebut, sebanyak 55 persen atau sekitar 22 persen populasi menyatakan tahu bahwa Ketua MK yang memutus perkara tersebut adalah paman Gibran, yang tidak tahu sebanyak 45 persen.
Dari 55 yang tahu Ketua MK tersebut paman Gibran, 31 persen memilih Anies-Muhaimin, 26 persen Ganjar-Mahfud, 32 persen Prabowo-Gibran, dan 11 persen belum menjawab. Sementara dari 45 persen yang tidak tahu, 16 persen memilih Anies-Muhaimin (AMIN), 20 persen Ganjar-Mahfud, 55 persen Prabowo-Gibran, dan 9 persen belum menjawab.
Saiful menyatakan bahwa jika jumlah warga yang tahu bahwa ketua MK yang memutus perkara usia capres/cawapres tersebut paman Gibran semakin banyak, maka pemilihan presiden kemungkinan akan terjadi dalam dua putaran.
Dan kemungkinan yang akan bersaing adalah Prabowo-Gibran dan Anies-Muhaimin di putaran kedua. Sementara jika semua populasi nasional tidak tahu bahwa ketua MK tersebut adalah paman Gibran, potensi kemenangan Prabowo-Gibran satu putaran menjadi besar.
Survei ini kemudian mendalami sikap publik terkait isu MK tersebut. Bagi yang tahu bahwa Ketua MK yang memutus perkara batas usia capres/cawapres, ada 34 persen yang menyatakan keputusan MK tersebut adil dan sebanyak 59,6 persen menyatakan itu keputusan yang tidak adil.
Dari 34 persen yang menyatakan keputusan tersebut adil, 25 persen memilih Anies-Muhaimin, 20 persen Ganjar-Mahfud, 47 persen Prabowo-Gibran, dan masih ada 8 persen yang tidak menjawab. Sementara dari 59,6 persen yang menyatakan keputusan tersebut tidak adil, 36 persen memilih Anies-Muhaimin, 29 persen Ganjar-Mahfud, 26 persen Prabowo-Gibran, dan ada 8 persen yang tidak menjawab.
Saiful menjelaskan bahwa, jika semakin banyak yang menyatakan keputusan MK itu tidak adil, maka terjadi penguatan suara pada Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud. Sementara suara Prabowo-Gibran melemah. Bahkan di segmen pemilih yang menyatakan keputusan itu tidak adil, potensi yang lolos ke putaran kedua adalah Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud.
“Jika informasi tentang keputusan MK itu semakin dalam, lalu publik tahu tentang siapa pimpinan MK ketika keputusan itu dibuat, maka itu akan merugikan pasangan Prabowo-Gibran. Lalu ditanya lagi apakah keputusan itu adil atau tidak. Mayoritas yang tahu menyatakan itu tidak adil. Dan di antara mereka yang menyatakan keputusan itu tidak adil, kemungkinan Prabowo-Gibran tersingkir (tidak lolos ke putaran kedua),” ujar penulis buku Muslim Demokrat tersebut.
Lebih jauh Saiful menegaskan bahwa, isu keputuan MK tersebut punya pengaruh. Karena itu, jika isu tersebut disosialisasikan, akan menjadi masalah terhadap pasangan Prabowo-Gibran, tapi akan menjadi keuntungan politik untuk pasangan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud.
“Pada yang tahu keputusan MK, kemungkinan yang bertarung di putaran kedua adalah Prabowo-Gibran dan Anies-Muhaimin. Pada yang tahu bahwa ketua MK yang memutus perkara usia itu adalah paman Gibran, yang bertarung di putaran kedua kemungkinan juga Prabowo-Gibran dan Anies-Muhaimin. Yang jelas, tidak mudah membuat pemilihan presiden satu putaran apabila publik luas tahu tentang keputusan MK tersebut. Sementara di kalangan pemilih yang menilai keputusan MK tersebut tidak adil, itu membuat Prabowo-Gibran tersingkir dari Pilpres putaran kedua,” sebutnya.
Karena itu, menurut Saiful, efek dari keputusan MK tersebut pada pemilihan presiden akan sangat tergantung pada bagaimana isu itu disosialisasikan. Jika semakin banyak publik yang tahu isu ini, besar kemungkinan peta kekuatan dukungan pada pasangan Capres/Cawapres bisa berubah.
Populasi survei ini adalah seluruh warga negara Indonesia yang punya hak pilih dalam pemilihan umum, yakni mereka yang sudah berusia 17 tahun atau lebih, atau sudah menikah ketika survei dilakukan. Sampel sebanyak 2400 responden dipilih secara acak (stratified multistage random sampling) dari populasi tersebut. Response rate (responden yang dapat diwawancarai secara valid) sebesar 1939 atau 81%. Sebanyak 1939 responden ini yang dianalisis.
Margin of error survei dengan ukuran sampel tersebut diperkirakan sebesar ± 2,3% pada tingkat kepercayaan 95% (asumsi simple random sampling). Responden terpilih diwawancarai lewat tatap muka oleh pewawancara yang telah dilatih. Waktu wawancara lapangan 29 Oktober - 5 November 2023. (ari)