Oleh: Lukman Hakiem (Peminat Sejarah)
BAGAI ritual sepuluh tahunan, di periode kedua jabatan presiden selalu muncul orang-orang yang mengusulkan supaya jabatan presiden tidak dibatasi hanya dua periode. Ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sedang melaksanakan tugas di periode kedua, seorang kader Partai Demokrat, tiba-tiba mengusulkan supaya SBY diberi kesempatan menjabat presiden tiga periode. Pro dan kontra segera muncul. Tidak kurang dari Prof. A. Syafii Maarif mengeritik keras gagasan presiden tiga periode itu.
Untungnya, Presiden SBY sendiri dengan tegas menolak gagasan tersebut, sehingga ide itu tidak berkembang. Di era Presiden Jokowi, sejak Jokowi dilantik untuk masa jabatan kedua, gagasan presiden tiga periode kembali menyeruak.
Yang menarik, meskipun Presiden Jokowi secara verbal menyatakan menolak gagasan tersebut, tetapi berbagai komunitas muncul mendukung Presiden Jokowi tiga periode. Kali ini ditimpali dengan gagasan untuk melakukan amandemen terbatas terhadap UUD 1945 untuk memasukkan Pokok-pokok Haluan Negara (PPHN). Gagasan amandemen terbatas dicurigai sebagai pintu masuk untuk mengamandemen Pasal 7 tentang masa jabatan presiden.
Tragedi Presiden Seumur Hidup
IR. SUKARNO dan Drs. Mohammad Hatta dipilih menjadi presiden dan wakil presiden untuk pertama kalinya oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Ini sesuai dengan Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945. Sesudah Aturan Peralihan disahkan, Sukarno selaku Ketua PPKI menyiapkan kartu suara untuk pemilihan presiden dan wakil presiden.
Belum lagi kertas suara dibagikan, Oto Iskandar Dinata menginterupsi. Dia mengusulkan pemilihan presiden dan wakil presiden dilakukan secara aklamasi. Oto kemudian mengusulkan Bung Karno dan Bung Hatta. Usul Oto disambut dengan tepuk tangan meriah oleh anggota PPKI yang berjumlah 25, plus satu ketua dan seorang wakil ketua.
Sukarno menganggap tepuk tangan meriah sebagai tanda persetujuan, maka dia mengucapkan terima kasih seraya mengetukkan palu.
Para anggota PPKI berdiri, menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya, lalu meneriakkan "Hidup Bung Karno!", "Hidup Bung Hatta!", masing-masing sebanyak tiga kali. Ketika terbentuk Negara RI Serikat, sidang Senat RIS memilih dan menetapkan Presiden RI Sukarno menjadi Presiden RIS. Oleh karena jabatan presiden RI ditinggalkan oleh Bung Karno, maka Ketua Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) Mr. Assaat ditetapkan oleh KNIP menjadi Pejabat Presiden RI. Waktu RIS beralih ke Negara Kesatuan, Bung Karno dan Assaat kembali ke posisi semula: sebagai Presiden dan Ketua Parlemen RI.
Soekarno terus memegang jabatan presiden sampai MPRS dengan Ketetapan No. III/1963 mengangkat dan menetapkan Bung Karno sebagai Presiden Seumur Hidup. Presiden seumur hidup berakhir tragis. Sesudah selama berkuasa memberangus kebebasan, group musik Koes Bersaudara pun dipenjarakan, pada Sidang Istimewa MPRS tahun 1967, Sukarno diberhentikan dari jabatannya, dan digantikan oleh Jenderal Soeharto.
Soeharto dan Perlawanan Aktivis Kampus
SOEHARTO yang ditahbiskan sebagai pemimpin Orde Baru, datang dengan janji dan harapan. Dia bertekad untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Seperti Soekarno di awal kemerdekaan, Soeharto melenggang ke puncak kekuasaan tanpa hambatan. MPR hasil pemilihan umum 1971, memilih dan menetapkan Jenderal Soeharto menjadi Presiden. Kali ini MPR juga memilih dan menetapkan Sultan Hamengku Buwono IX sebagai Wakil Presiden --jabatan yang kosong sejak ditinggalkan oleh Bung Hatta pada akhir 1956.
Akan tetapi, masa bulan madu dengan pemimpin Orde Baru ternyata berlangsung singkat. Menjelang pemilu 1971, muncul gerakan menolak pemilu yang dianggap tidak demokratis. Gerakan ini menyebut dirinya Golongan Putih (Golput). Akhir 1973 para aktivis mahasiswa bergerak di seluruh negeri. Mereka memprotes kebijakan penanaman modal asing yang sangat pro asing, dalam hal ini terutama Jepang. Aksi mahasiswa yang disusupi orang-orang tidak bertanggung jawab, berakhir dengan terbakarnya Jakarta, diberangusnya sejumlah koran, dan ditangkapnya banyak aktivis. Pemerintah menuduh aksi mahasiswa Januari 1974 ditunggangi oleh Masyumi dan PSI --dua partai yang sudah bubar sejak 1960.
Kapokkah mahasiswa? Ternyata tidak. Pada bulan Oktober 1977, para pimpinan Senat dan Dewan Mahasiswa berkumpul di Bandung. Mereka melahirkan Ikrar Mahasiswa menuntut MPR melaksanakan Sidang Istimewa untuk meminta pertanggungjawan Presiden Soeharto atas berbagai penyelewengan yang dia lakukan. Puncak aksi mahasiswa terjadi pada awal Januari 1978 ketika Dewan Mahasiswa ITB di bawah pimpinan Heri Ahmadi mengumumkan sikap menolak pencalonan kembali Jenderal Soeharto sebagai Presiden untuk periode ketiga.
Rezim Orde Baru murka. Tentara dikerahkan untuk menduduki kampus, para pimpinan mahasiswa, sejumlah dosen, dan tokoh yang bersimpati kepada gerakan mahasiswa ditangkap. Sejumlah koran dibreidel. Senat dan Dewan Mahasiswa dibubarkan. Kehidupan betul-betul mencekam. Semua aktivis, untuk sementara tiarap. Orde Baru menguasai keadaan.
PPP: Jabatan Presiden Cukup Dua Periode
DALAM suasana politik seperti itulah, sesudah melumpuhkan semua lawan politiknya, Sidang Umum MPR 1978 dilaksanakan. Para pendukung Soeharto menganggap SU kali ini akan berlangsung aman, lancar, dan terkendali.
Di luar dugaan masih ada PPP. Partai hasil fusi Partai NU, Parmusi, PSII, dan Perti itu tetap bersikap kritis. Terhadap Rancangan Ketetapan MPR tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), PPP menyatakan tidak setuju dan walk out (meninggalkan ruang sidang).
PPP tidak keberatan diadakan suatu pedoman untuk mengamalkan Pancasila asal tidak berbentuk Ketetapan MPR dan tidak berbeda dengan jiwa dan makna Pancasila yang ada dalam UUD 1945. Yang paling spektakuler tentu saja Rancangan Ketetapan MPR tentang Masa Jabatan MPR yang diajukan oleh PPP pada SU MPR 1978.
Anggota Fraksi PPP, Ny. Aisyah Aminy (lahir tahun 1931) dengan gigih meyakinkan fraksi-fraksi lain untuk mendukung usul PPP. Fraksi-fraksi itu umumnya "memahami" usul PPP dan siap mendukung dengan syarat: PPP mendukung Soeharto menjadi Presiden periode 1978-1983.
Sesudah bermusyawarah dengan pimpinan partai, Fraksi PPP di MPR menyetujui syarat yang diajukan oleh fraksi lain. Tidak apalah, Soeharto dipilih lagi menjadi Presiden untuk masa jabatan ketiga, asal MPR setuju melahirkan Ketetapan tentang Pembatasan Masa Jabatan MPR.
Soeharto Setuju, Namun....
SELANJUTNYA marilah kita simak penuturan Ny. Aisyah Aminy di dalam biografinya (2002:57-58). Aisyah masih ingat, hari Sabtu, Ketua Komisi tempat Aisyah terlibat di dalamnya, menemui Presiden Soeharto untuk menyampaikan kesepakatan yang dicapai di Komisi. Pada hari Senin, Ketua Komisi melaporkan kepada Komisi hasil pembicaraannya dengan Presiden. Menurut Sang Ketua, Pak Harto setuju masa jabatan presiden dibatasi hanya untuk dua kali saja. Aisyah senang mendengar informasi itu, akan tetapi, ternyata kalimat Ketua Komisi belum selesai.
"Presiden Soeharto menginginkan pengesahan TAP MPR mengenai pembatasan masa jabatan presiden dilakukan pada akhir masa jabatannya saja, yaitu menjelang tahun 1983."
Dengan informasi terakhir itu, Ny. Aisyah merenung. Dia sadar, tugas PPP makin berat. Menjelang pemilu 1982, Jenderal Ali Moetopo tampil mengkampanyekan "Soeharto Bapak Pembangunan". Hasilnya sungguh luar biasa. Soeharto terpilih kembali sebagai presiden untuk periode berikutnya, dan berikutnya lagi, hingga dia mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 akibat desakan para mahasiswa dan seluruh komponen prodemokrasi.
Pembatasan masa jabatan presiden, baru berhasil dilakukan sesudah Soeharto lengser sebagai salah satu tonggak keberhasilan reformasi. Pembatasan masa jabatan presiden adalah perjuangan panjang yang berliku dan berdarah-darah.
Maka, sungguh ajaib, tiba-tiba kini muncul kembali aspirasi untuk tidak membatasi masa jabatan presiden. Persis seperti dulu Soekarno dan Soeharto terus didukung untuk menjadi presiden.
Sesudah dibolehkan tiga kali, bukankah bisa empat, lima kali. Bahkan bisa seumur hidup seperti Soekarno. Mudah-mudahan bangsa ini tidak menjadi bangsa yang pendek ingatannya. []