telusur.co.id - Pemilihan Umum Raya Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya (Pemira BEM Unesa) Tahun 2020 kali ini mengalami banyak polemik yang sungguh sangat menggelitik bagi para pemerhati demokrasi kampus.
Menurut mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) Unesa, Dimas Rahmadiansya mengatakan, pemira kali ini menunjukkan bahwasannya jati diri demokrasi telah hilang keperawanannya, ketika dalam implementasinya terlalu banyak intervensi dari pihak birokrasi, khususnya dari dalam Rektorat Unesa.
“Hal tersebut menjadi polemik yang seharusnya dan semestinya demokrasi di dalam kampus dirayakan oleh mahasiswa, sekarang telah berubah ketika sosok “Orang Tua” yakni pihak birokrasi terlalu ikut campur dan menjadi support sistem dari salah satu calon dalam pesta demokrasi mahasiswa tersebut,” ujar Dimas pada keterangan tertulisnya yang dikirim ke Telusur.co.id. Selasa, (03/3/2020).
Dimas menambahkan, hal tersebut tercium ketika pada hari Senin (17/2) pihak Rektorat mengumpulkan bakal calon Ketua dan Wakil Ketua BEM Unesa yang mana menghasilkan bentuk kesepakatan yang merubah sistem tatanan Pemira Tahun 2020.
“Memang dalam beberapa hal yang membuat sebuah permasalahan yang menuai pro dan kontra yang tak kunjung selesai, diperbolehkan untuk mengikutsertakan pihak Rektorar untuk menengahi permasalahan tersebut,” ungkapnya.
Dimas mengungkapkan, sebagaimana tertera dalam UU Pemira Tahun 2020 Pasal 62 ayat (1) dan (2) yang mana sudah sangat jelas dalam hal permasalahan sengaja mengacaukan, menghalangi, mengganggu jalannya Pemira, serta melakukan tindakan kekerasan dengan ancaman kekerasan semuanya diserahkan kepada pihak Rektorat untuk dapat diselesaikan.
Senagaimana pelanggaran kampanye yang dilakukan oleh pihak Dekanat Fakultas Teknik (FT) Unesa, hal tersebut dapat diselesaikan terkait sanksi kode etik birokrasi, namun untuk terkait sanksi terhadap peserta Pemira semuanya di bawah wewenang Banwas dan KPUR Unesa.
“Namun dalam hal ini, wewenang Rektorat hanya sebatas menengahi sebuah permasalahan, bukan berarti kewenangan tersebut dengan sewenang-wenang disalahgunakan untuk menguntungkan salah satu paslon, apalagi sudah merusak tatanan jalannya Pemira yang sudah tertera dalam UU Pemira Tahun 2020,” lugas Dimas.
Sebagai contoh, lanjut Dimas, pihak Rektorat Unesa telah mengacaukan serta mengganggu jalannya Pemira kali ini dengan sebuah instruksi yang mana, pasca pemungutan suara langsung dilaksanakan perhitungan surat suara. Hal tersebut tidak sesuai dengan UU Pemira Tahun 2020 Pasal 49 yang seharusnya pasca pemungutan suara, Banwas harus membuka masa gugat yang pertama.
“Namun dengan kewenangan pihak Rektorat Unesa, semuanya merusak jalannya Pemira Tahun 2020 yang sudah diatur dalam Undang-Undang Pemira,” tambah Dimas.
Dalam hal ini, kata Dimas, KPUR dan Banwas yang seharusnya sesuai UU Pemira Tahun 2020, memiliki kewenangan untuk memutuskan sebuah permasalahan sebagaimana telah disebutkan dalam Pasal 62 ayat (3) dan (4) serta pada Pasal 63 ayat (1) sampai (3), menjadi landasan bagi KPUR atas temuan dari Banwas untuk memutuskan suatu perkara sehingga dalam hal ini apapun yang menjadi keputusan yang dibuat oleh KPUR mutlak memiliki kewenangan dan memiliki dasaran hukum.
“Sehingga, ketika memang masih terdapat intervensi dari pihak Rektorat atau birokrasi Unesa, maka lebih baik demokrasi yang ada di kampus tercinta ini (Unesa-red) tidak didirikan sama sekali!” tegas Dimas.
Terakhir, Dimas menuturkan, adapun ketika perkara ini masih terdapat intervensi dari pihak birokrasi kampus (Mal Administrasi), maka langkah konkrit yang seharusnya diambil oleh mahasiswa adalah membawa perkara ini ke ranah yang lebih tinggi, yaitu ke tempat pengaduan dan pelayanan mal administrasi (Ombudsman).
Sampai berita ini diturunkan, pihak Rektorat Unesa sudah dihubungi Tim Redaksi Telusur.co.id pada hari Selasa, (03/3) siang hari melalui via WhatsApp (WA). Namun, sampai malam hari Rabu, (04/3) belum ada jawaban dari pihak Rektorat Unesa untuk memenuhi pemberitaan yang seimbang. [Asp]
Laporan : Ari