telusur.co.id - Wakil Ketua MPR, Syarief Hasan meminta perusahaan yang telah mendapatkan ijin relaksasi ekspor pertambangan untuk segera merampungkan fasilitas pemurnian mineral (smelter). Ini sangat penting untuk menjaga semangat hilirisasi agar nilai tambah sumber daya minerba semakin tinggi, sehingga berdampak pada perekonomian negara. Regulasi pengecualian ini harus dimanfaatkan seoptimal mungkin agar semua pihak dapat mendapatkan manfaat, baik dalam hal ini negara, daerah, pekerja, maupun keberlanjutan bisnis perusahaan.Regulasi pengecualian ini tidak boleh sering terjadi karena menimbulkan ketidak pastian kebijakan dan bisa menjadi peluang spekulasi yang tinggi.
“Dengan terbitnya Permendag 22 dan 23 Tahun 2023 yang pada intinya memberikan persetujuan ekspor kepada komoditas yang diberikan relaksasi ekspor, maka perusahaan tambang itu dapat kembali melakukan ekspor komoditas. Kebijakan relaksasi serupa sudah tidak boleh lagi diberikan, karena fungsi kebijakan adalah memberikan kepastian berusaha. Semua komoditas minerba dan pelaku usaha harus diperlakukan sama agar keadilan tetap tegak,” ungkap Politisi Senior Partai Demokrat ini.
Alasan relaksasi ekspor sebagaimana diatur dalam Permen ESDM 7/2023 sekalipun masih dapat diterima, karena banyak pertimbangan yang menjadi rujukan anatara lain potensi menurunnya pendapatan negara, penerimaan daerah, PHK, dan kondisi bisnis perusahaan menjadi dasar rasional. Namun jika ini terus diberikan berulang, maka jargon hilirisasi dipertaruhkan. Kita bersepakat hilirisasi menciptakan nilai tambah, maka perlu konsistensi menegakkan kebijakan itu. Hal yang terpenting sekarang bagaimana memastikan segala prasyarat hilirisasi itu terpenuhi, terutama pembangunan smelter.
Menteri Koperasi dan UKM di era Presiden SBY ini juga menilai pelaku usaha domestik juga harus mulai berinvestasi pada pembangunan smelter. Sejauh ini sebagian besar smelter dikuasai oleh asing, oleh karena itu perlu dukungan lembaga pembiayaan agar kemandirian minerba terjaga dari hulu sampai hilir. Industri hulu dan hilir sama pentingnya, yang paling utama bagaimana memberikan dampak keekonomian kepada masyarakat, daerah, dan negara. Hal ini perlu jadi evaluasi dan otokritik bagi pemerintah dan pelaku usaha di tanah air.
“Fungsi kebijakan adalah memberikan kepastian berusaha. Pengecualian mungkin dapat ditoleransi, namun ini tidak boleh sering dilakukan. Kita harus membangun komitmen untuk menjaga industri pertambangan berdaya saing. Selain itu, kemandirian industri hulu dan hilir adalah hal lain yang juga penting. Pada intinya, bagaimana Indonesia mampu mengelola kekayaan alamnya dengan semangat berusaha yang kompetitif,” tutup Syarief.