telusur.co.id - Koalisi partai pendukung bakal calon presiden Prabowo Subianto berubah nama dari Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) menjadi Koalisi Indonesia Maju (KIM).
Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul, M. Jamiluddin Ritonga mengatakan Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar atau Cak Imin tampaknya sangat kecewa atas perubahan nama koalisi tersebut. Sebab, ia mengaku tidak dilibatkan dalam perubahan koalisi tersebut.
Cak Imin bahkan baru mengetahui adanya perubahan nama koalisi saat menghadiri HUT PAN di Jakarta. Hal itu tentu mengesankan Cak Imin tidak dianggap penting, sehingga ditinggal begitu saja dalam memutuskan nama koalisi.
"Cak Imin tentu wajar bila sangat kecewa. Sebab, ia dan Prabowo yang mendeklarasikan KKIR, dan kemudian diubah menjadi KIM tanpa sepengetahuannya," ujar Jamiluddin.
Dengan berubah nama, tentu KKIR dengan sendirinya bubar. Ini artinya, piagam kesepakatan yang ditandatangani Prabowo-cak Imin menjadi tidak berlaku lagi.
Hal itu tentu berimplikasi pada peluang Cak Imin menjadi Cawapres juga semakin kecil. Sebab, pembahasan Cawapres tidak lagi dibahas oleh Prabowo dan Cak Imin saja, tapi juga oleh Airlangga Hartarto, Zulkifli Hasan, dan Yusril Ihzha Mahendra.
"Jadi, Cak Imin tidak lagi memiliki hak veto yang kuat. Suara Cak Imin tidak lagi menentukan dalam memutuskan cawapresnya Prabowo."
Secara politis hal itu tentu memukul Cak Imin. Sebagai Ketua Umum PKB, ia sudah mendapat perlakukan yang tak selayaknya. Seolah audah tidak ada kesetaraan di KIM.
Karena itu, ada peluang Cak Imin dan PKB akan mengevaluasi keberadaannya bersama Prabowo, termasuk di KIM. Evaluasi itu akan menjadi kenyataan bila Cak Imin tidak menjadi Cawapresnya Prabowo.
"PKB berpeluang besar akan meninggalkan KIM dan berlabu ke PDIP. Peluang itu akan semakin terbuka bila PDIP memberikan konsesi politik yang lebih menguntungkan pada Cak Imin dan PKB," tandasnya. [ham]