Tanpa Islam Tidak Ada Indonesia - Telusur

Tanpa Islam Tidak Ada Indonesia


Telusur.co.idPADA pertengahan 1990-an, sejarawan terkemuka Taufik Abdullah –seperti dikutip majalah Media Dakwah No. 241, Muharram 1415/Juli 1994–  meresensi buku, Muslims Through Discourse.

Buku ini tidak berbicara mengenai umat Islam di Saudi Arabia atau kaum Muslim di Pakistan. Buku ini membahas mengenai masyarakat Muslim di Gayo, Aceh Tengah. Salah satu kesimpulan akhir buku itu ialah: masyarakat Gayo memperoleh kesadaran sebagai bagian dari bangsa tidak melalui proses peralihan yang oleh Cliffofd Geertz disebut “dari masyarakat lama (old society) ke negara baru  (new state),” melainkan melalui wacana Islam. Melalui diskursus Islam, masyarakat Gayo merasa menjadi bagian dari bangsa Indonesia.

Di daerah-daerah lain seperti di Sumatera Barat dan Tapanuli Selatan, Taufik menyakini, prosesnya sama dengan Gayo. Taufik menduga, di Kalimantan Selatan juga terjadi proses seperti itu.

Melihat pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, Taufik yakin proses pertumbuhan rasa kebangsaan Indonesia di Jawa tidak berbeda dengan proses yang terjadi di daerah-daerah lain, yakni melalui wacana Islam.

Ingatan Sosial

Masih mengikuti uraian Taufik Abdullah, Islam masuk ke Indonesia pada mulanya bersifat lokal. Dari tempat perhentiannya itulah Islam menyebar. Maka, yang kita temukan pada saat-saat awal adalah tradisi Islam yang bersifat lokal.

Pada tahap sederhana, kita dapat mengatakan ada Islam Aceh, Islam Minangkabau, Islam Jawa, Islam pantai utara Jawa, Islam Mataram, Islam Bugis, dan lain sebagainya. Ini tidak salah. Islam mengakui adanya ‘urf. Dan fiqh pun membenarkan kenyataan tersebut sepanjang tidak bertentangan dengan akidah.

Islam-islam lokal itulah yang sesungguhnya menjadi komunitas Islam yang betul-betul riil yang walaupun memiliki ciri-ciri tersendiri, tetapi dipersatukan oleh doktrin Islam yang bersifat abadi (eternal), dan menjagadraya (universal).

Sebagai demikian kita menemukan dua komunitas Islam: komunitas empiris yang bersifat lokal; dan komunitas doktrinal yang bersifat abstrak. Jika Islam lokal dipenuhi oleh mitos dan legenda, maka Islam doktrin dipenuhi oleh kisah-kisah al-Quran, sejarah para Nabi, dan sebagainya. Inilah yang kemudian mempertemukan kaum Muslim di Hadralmaut, Yaman; dengan  umat Islam di Jakarta, Indonesia.

Ada beberapa jaringan yang telah dipunyai oleh komunitas doktrin yang diserap dan dipakai oleh komunitas lokal. Pertama, jaringan penyebaran agama. Kedua, jaringan guru-murid yang terbentang antara Haramain (Makkah dan Madinah) hingga Kepulauan Nusantara. Ketiga, jaringan teks atau naskah-naskah yang ditulis oleh para ulama terdahulu disalin oleh seseorang dan seseorang lainnya terus menerus hingga sekarang. Ketiga jaringan inilah yang akhirnya membentuk komunitas historis, yang kemudian kita sebut Indonesia. Bagaimana jaringan penyebaran agama bekerja, dapat dilihat dari social memory (ingatan sosial).

Jika kita pergi ke Makassar, dan bertanya kepada mereka: “Bagaimana Anda bisa menjadi Muslim?”, ingatan sosial masyarakat Makassar menjawab: “Kami diislamkan oleh tiga datuk dari Minangkabau.” Di Sumbawa, pertanyaan serupa akan dijawab oleh ingatan sosial: “Kami diislamkan oleh orang-orang dari Makassar.” Di Ambon, kita akan bertemu dengan ingatan sosial yang mengatakan: “Kami diislamkan oleh orang-orang Jawa yang datang dari Giri, pantai timur Jawa.”

Social memory di atas memperlihatkan sebuah jaringan yang hebat, yang mempersatukan Indonesia. Pada tahap awal, jaringan ini tidak berhenti hanya di Indonesia, tetapi juga menjangkau Malaysia, Filipina Selatan, dan Muangthai Selatan.

Kemusliman = Kebangsaan

Teori ingatan sosial  yang dikemukakan oleh Taufik Abdullah, segera mengingatkan kita kepada tulisan Deliar Noer dalam disertasinya Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942 yang dipertahankan di Universitas Cornell, Amerika Serikat.

Menurut Deliar, pada masa peralihan dari abad XVIII ke abad XIX, sesudah lebih dari dua ratus tahun politik Kristenisasi dilaksanakan dengan ketat oleh penguasa kolonial (Spanyol, Portugis, Inggeris, dan Belanda), yang lahir justeru menyatunya identitas kemusliman dengan identitas kebangsaan. Pada waktu itu, orang yang beragama Islam selalu digolongkan kepada penduduk pribumi. Orang Cina yang masuk agama Islam, dikatakan telah mengubah kebangsaan atau kesukuannya menjadi Melayu.

Di Jawa, semua orang bumiputera atau pribumi, disebut wong Selam, orang Islam. Sarekat Islam, satu-satunya organisasi sosial politik yang berpengaruh besar di awal abad XX, lebih menunjukkan sifat etnis  dari pengikutnya, yaitu kepribumiannya, daripada sifat keagamaan dari organisasi tersebut. Nama Sarekat Islam menggambarkan aspek agama dan aspek kebangsaan atau kepribumian.

Demikian kuat identifikasi kemusliman dengan kebangsaan, sehingga pada masa itu, segala yang identik atau berbau penjajah, ditolak. Mereka yang menyekolahkan anaknya ke sekolah pemerintah kolonial, dianggap menyekolahkan anaknya ke sekolah Kristen. Mereka yang berpantalon dan berdasi, dianggap kafir. Ini sama sekali bukan sikap antikebhinekaan atau sikap intoleran,  melainkan sikap uzlah, mengisolasi diri, memupuk kekuatan di luar pengaruh dominan kaum penjajah.

Kelak, ketika tiba saatnya untuk melawan kaum penjajah yang diiuzlahi, kaum antikolonial itulah yang paling dulu melompat ke depan. Satu seruan “Allahu Akbar!” dari Bung Tomo, telah cukup untuk memanggil para ulama dan para santri dari berbagai pelosok negeri untuk tampil ke depan menghadapi serangan musuh yang hendak kembali menjajah tanah air.

Bukanlah kesimpulan yang melompat jika dikatakan karena kemusliman identik dengan kebangsaan, maka relijiusitas sesunguhnya merupakan  jati diri bangsa ini.

Kaum penjajah sadar benar, kekuatan riil dan potensial bangsa Indonesia terletak pada jiwa relijiusitasnya yang dalam hal ini untuk sebagian besar berarti jiwa keislamannya.

Berdasarkan kesadaran terhadap kekuatan Islam itulah, kaum penjajah berusaha keras untuk menaklukkannya dengan berbagai cara, dan dari berbagai jurusan kehidupan. Akan tetapi, seperti ditulis oleh W.F. Wertheim dalam Kata Pengantar untuk buku Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit Islam Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang, “Apapun politik terhadap Islam yang akan dilancarkan oleh kekuasaan non-Islam, hasilnya senantiasa berbeda dari apa yang ingin dikejar kekuasaan tersebut.”

Kristalisasi Jati Diri

Menjelang akhir masa pendudukan di Indonesia, pemerintah kolonial Jepang –entah apapun nawaitunya— membentuk Dokuritsu Zjunbi Tjoosakai (Badan Oentoek Menjelidiki Oesaha-oesaha Persiapan Kemerdekaan). Badan itu dibentuk untuk menjawab pertanyaan: “Filsafat apa yang nanti akan menjadi dasar negara Indonesia?”

Bagai berlomba, para anggota Dokuritsu tampil menyampaikan gagasannya mengenai dasar negara Indonesia. Sesudah semua anggota menyampaikan gagasannya, Dokuritsu membentuk Panitia Delapan untuk menginventarisasi usul-usul yang masuk.

Dari tujuh usul yang masuk, ternyata ada empat yang mengusulkan Ketuhanan (dengan segala variasinya) menjadi dasar negara. Fakta ini sekali lagi menunjukkan, relijiusitas adalah jati diri bangsa Indonesia.

Dengan fakta seperti itu pula, mudah dipahami mengapa ketika berbagai gagasan dirumuskan ulang oleh Panitia Sembilan, rumusan “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” disepakati menjadi sila pertama dari lima sila yang diusulkan.

Ketua Panitia Sembilan, Ir. Sukarno, yang pada pidato 1 Juni 1945 menempatkan Ketuhanan sebagai sila terakhir (sila kelima pada Pancasila, dan sila ketiga pada Trisila), bahkan menghilangkannya pada Ekasila; secara ksatria mengubah pendapatnya dengan menyetujui penempatan Ketuhanan sebagai sila pertama. Lebih dari itu, pada rapat besar Dokuritsu, Sukarno memasang badan untuk mempertahankan sila “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Sukarno menyebut rumusan itu sebagai kompromi yang sebaik-baiknya antara golongan Islam dengan golongan kebangsaan. Dengan rasa menangis, Sukarno meminta kebesaran hari seluruh anggota Dokuritsu untuk mengambil over rumusan tersebut.

Bahwa sesudah itu muncul  proses 18 Agustus 1945 di Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), lahirnya Konstitusi Republik Indonesia Serikat dan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 yang secara redaksional mengubah rumusan sila-sila Pancasila, ditambah perdebatan di Konstituante; itu tidak sedikitpun mengubah relijiusitas sebagai jati diri bangsa.

Puncak kristalisasi jati diri bangsa itu, terjadi pada 22 Juli 1959 ketika DPR hasil pemilihan umum 1955 secara aklamasi menyetujui Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang di dalam konsiderannya menyatakan “Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut,” oleh juru bicara Partai Masyumi, Anwar Harjono, disebut sebagai penemuan genial bangsa Indonesia. Dengan rumusan konsiderans seperti itu, bangsa Indonesia telah mengukuhkan jati dirinya sebagai bangsa yang relijius.

Menjawab pertanyaan anggota DPR dari Partai Nahdlatul Ulama (NU), K.H. Amad Sjaichu, mengenai arti konsiderans Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Perdana Menteri Ir. H. Djuanda mengatakan: “Pengakuan adanya Piagam Jakarta sebagai dokumen historis, bagi Pemerintah berarti pengakuan pula akan pengaruhnya terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Jadi, pengaruh termaksud tidak mengenai Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 saja, tetapi juga mengenai Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945, pasal mana selanjutnya harus menjadi dasar bagi kehidupan hukum di bidang keagamaan. Yaitu bahwa dengan demikian kepada perkataan ‘Ketuhanan’ dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dapat diberikan arti ‘Ketuhanan dengan kewajiban bagi umat Islam untuk menjalankan syariatnya’, sehingga atas dasar itu dapat diciptakan perundang-undangan bagi pemeluk agama Islam yang dapat disesuaikan dengan syariat Islam.”

Dekrit Presiden itu, menurut Ketua Umum Partai Masyumi, Prawoto Mangkusasmito, menjadi landasan bersama (common platform) bagi semua aliran dan golongan warga negara Republik Indonesia yang harus ditegakkan bersama dengan saling hormat menghormati identitas masing-masing.

Jika Tidak Ada Islam

Buku yang merupakan kumpulan tulisan mengenai 17 tokoh ini (Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, A. Kahar Mudzakkir, M. Natsir, Prawoto Mangkusasmito, Mohamad Roem, M. Rasjidi, Burhanuddin Harahap, Sjafruddin Prawiranegara, Anwar Harjono, Deliar Noer, Buchari Tamam, Ventje Sumual, Busthanul Arifin, Ismail Hasan Metareum, Assaat, dan Chairul Saleh) menunjukkan bahwa dalam setiap proses perjuangan menegakkan negara ini, umat Islam tidak pernah absen. Hal itu bukan saja karena Islam adalah agama yang dianut oleh mayoritas penduduk negeri ini, juga oleh karena jika ada yang paling menderita akibat penjajahan atau akibat ketidakberesan pengelolaan negara, pastilah umat Islam yang mayoritas itu. Maka umat Islam bukan saja bagian tidak terpisahkan dari negeri ini, tapi juga tulang punggung yang menjaga eksistensi negeri ini.

Jejak umat Islam dalam proses pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) demikian dalam, sehingga berbagai ikhtiar menghapus jejak itu –baik oleh kalangan dalam maupun oleh kalangan luar Islam– selalu gagal. Menghapus jejak umat Islam, atau memisahkan umat Islam dari negeri ini, ibarat memisahkan gula dari rasa manisnya. Usaha yang sia-sia.

Meminjam ungkapan Dr. Douwes Dekker, sebagaimana dikutip oleh K.H.A. Wahid Hasjim, “Dalam banyak hal, Islam merupakan nasionalisme di Indonesia dan jika seandainya tidak ada faktor Islam di sini, sudah lama nasionalisme yang sebenar-benarnya (tulen) hilang lenyap.”

Buku yang cukup bagus ini, sayangnya terganggu oleh koreksi yang kurang cermat, misalnya pada Kata Pengantar Prof. Dr. Laode M. Kamaluddin. Kesalahan yang paling mengganggu ada di halaman 279. Yang menjadi topik pembahasan Prof. Dr. H. Busthanul Arifin, S.H. (mantan Ketua Muda Mahkamah Agung), foto yang dipasang H. Bustanil Arifin, S.H. (mantan Menteri Koperasi/Kepada Bulog).

Penulis resensi : Ibnu Mursjid

Judul Buku: Jejak Perjuangan Para Tokoh Muslim Mengawal NKRI

Penulis: Lukman Hakiem

Kata Pengantar: Prof. Dr. Laode M. Kamaluddin

Jumlah halaman: xix + 352

Penerbit: Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2018

** Buku ini bisa dipesan di telusur.co.id


Tinggalkan Komentar