Tingkatkan Pemahaman Masyarakat terkait Potensi Ancaman Gempa Megathrust - Telusur

Tingkatkan Pemahaman Masyarakat terkait Potensi Ancaman Gempa Megathrust

Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat

telusur.co.id - Ancaman gempa megathrust di Indonesia harus disikapi dengan serius oleh semua pihak sebagai bagian dari upaya memperkuat kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana.

Demikian diungkap Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat saat memberi pengantar diskusi daring bertema Ancaman Gempa Megathrust di Indonesia yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (11/9).

"Ancaman megathrust sangat nyata karena berpotensi menyebabkan gempa bumi disertai tsunami yang berdampak luas, sehingga perlu pemahaman masyarakat terkait berbagai upaya mitigasi bencana yang harus dilakukan," kata dia.

Diskusi yang dimoderatori Anggiasari Puji Aryatie (Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI) itu menghadirkan Agus Riyanto, S.T., M.M. (Direktur Dukungan Sumber Daya Darurat, Badan Nasional Penanggulangan Bencana/BNPB), Dr. Sumarjaya, SKM, MM, MFP, C.F.A (Kepala Pusat Krisis Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI), dan Dr. Daryono, S.Si, M.Si (Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika/BMKG) sebagai narasumber.

Selain itu, hadir pula Hj. Sri Wulan, S.E., M.M. (Anggota Komisi VIII DPR RI) dan Ade Sutonih (Kepala Desa Tamanjaya, Kec Sumur, Kab. Pandeglang – Pelaku Terdampak Langsung Tsunami Selat Sunda), sebagai penanggap.

Lestari menjelaskan Indonesia terletak di cincin atau Lingkar Api Pasifik yang rentan pada gempa bumi dan letusan gunung api.

Berbagai potensi bencana alam, tambah Rerie, sapaan akrab Lestari, mesti menjadi perhatian bersama sebagai bagian upaya melindungi segenap bangsa Indonesia.

"Kita belajar dari berbagai kejadian yang masih segar dalam ingatan kita terkait gempa dasyat yang terjadi di Indonesia sejak tahun 2000," tegas Rerie yang juga anggota Komisi X DPR RI dari Dapil II Jawa Tengah itu.

Peristiwa bencana alam yang merenggut ribuan korban jiwa itu, ungkap Rerie, antara lain gempa bumi dan tsunami di Aceh (2004) yang menelan 283.000 korban jiwa dan lebih dari 14.000 orang hilang, gempa bumi Yogyakarta (2006) yang menyebabkan 5.700 orang meninggal dan 35.000 orang mengalami luka-luka, gempa Palu dan Donggala (2018) dengan lebih dari 2.000 meninggal dan 670-an orang dinyatakan hilang.

Seruan untuk mewaspadai megathrust, ujar Rerie, harus konsisten dilakukan sebagai pengingat agar
masyarakat mampu mempersiapkan diri dari ancaman bencana yang dapat terjadi sewaktu-waktu.

Karena, tegas Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu, melalui pengetahuan yang memadai, peningkatan kesadaran terhadap bencana secara berkelanjutan, mempersiapkan infrastruktur yang memadai dan pengembangan sistem peringatan dini maka setiap ancaman bencana dapat kita hadapi bersama.

Direktur Dukungan Sumber Daya Darurat, BNPB, Agus Riyanto berpendapat kunci untuk mempersiapkan masyarakat dalam menghadapi bencana adalah membangun kesadaran bersama bahwa Indonesia memang negara yang rawan bencana.

Diakui Agus, pada 2023 di Indonesia tercatat 5.400 bencana alam yang sebagian besar berupa bencana hydrometeorologi.

Bencana gempa bumi, jelas dia, meski jarang terjadi tetapi dampak kerusakannya sangat besar. Apalagi, menurut Agus, saat ini ada potensi muncul sesar-sesar baru di Indonesia yang berpotensi menimbulkan gempa bumi.

Untuk menerapkan penanggulangan dan mitigasi bencana yang baik, Agus sangat berharap keterlibatan aktif para pemangku kepentingan di daerah hingga di wilayah terkecil.

Dengan begitu, tambah dia, berbagai upaya untuk menanggulangi bencana dan menekan dampak dari bencana tersebut dapat dilakukan secara luas.

Kepala Pusat Krisis Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI, Sumarjaya mengungkapkan bahwa sektor kesehatan seringkali tertinggal dalam upaya penanggulangan bencana, padahal yang terancam dalam setiap bencana adalah jiwa manusia.

Sektor kesehatan dalam penanggulangan bencana, tambah Sumarjaya, mengupayakan agar masyarakat terhindar dari risiko luka, cacat bahkan meninggal dunia akibat bencana alam yang terjadi.

Kesiapan sektor kesehatan, jelas dia, sangat penting dalam upaya penanggulangan bencana yang disebabkan oleh alam dan non-alam.

Menurut Sumarjaya, upaya mempersiapkan masyarakat sebagai bagian sistem penanggulangan bencana yang terintegrasi dalam menghadapi bencana merupakan langkah yang sangat penting.

"Harus dilakukan penguatan sistem penanggulangan gawat darurat yang terpadu dalam menghadapi potensi bencana di tanah air," ujar Sumarjaya.

Dia menyayangkan saat ini baru 91 kabupaten/kota di Indonesia yang sistem gawat daruratnya terintegrasi.

Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Daryono mengungkapkan berdasarkan sejarah peristiwa tsunami besar di Indonesia terjadi di sejumlah wilayah megathrust.

Dalam rangkaian lempeng bumi yang terbentang dari timur hingga barat Indonesia, ujar Daryono, ada dua wilayah yang sudah 200 tahun tidak terjadi gempa besar, yaitu di Selat Sunda dan Mentawai.

Di antara 13 segmentasi megathrust yang ada di Indonesia, tegas Daryono, wilayah Selat Sunda dan Mentawai tersebut harus diwaspadai.

Karena itu, tambah dia, para pemangku kepentingan di tingkat pusat dan daerah harus segera bersama mengantisipasi potensi bencana yang akan terjadi.

Pihaknya, jelas Daryono, juga aktif memberi edukasi kepada masyarakat melalui pembentukan komunitas siaga tsunami di sejumlah daerah.

Anggota Komisi VIII DPR RI, Sri Wulan mengakui potensi bencana di Indonesia sangat besar.

Gempa megathrust yang diikuti tsunami, tambah Sri Wulan, berpotensi menimbulkan kerusakan dan korban jiwa.

Menurut dia, besarnya potensi korban jiwa dan kerusakan yang terjadi, harus diikuti dengan upaya sosialisasi dan edukasi terkait jenis bencana, risiko dan hal-hal apa yang harus dipersiapkan ketika bencana datang.

Masyarakat mulai komunitas terkecil di lingkungan keluarga hingga pemerintah, jelas Sri Wulan, harus bersinergi dalam memperkuat sosialisasi dan edukasi terkait bencana, sehingga membentuk kekuatan yang luar biasa dalam menghadapi bencana.

Kepala Desa Tamanjaya, Kec Sumur, Kab. Pandeglang, Ade Sutonih mengungkapkan pengalamannya saat menghadapi tsunami di desanya pada 2018.

Menurut Ade, dia mengalami tsunami senyap yang tidak ada tanda-tanda alam yang mendahuluinya.

Dia mengungkapkan, masyarakat di desanya sebelum terjadinya tsunami tidak memiliki pengetahuan terkait tanda-tanda tsunami.

Menurut Ade, ketika itu masyarakat di daerahnya minim mendapat sosialisasi terkait antara lain penanggulangan bencana alam dan jalur evakuasi baik dari pihak kabupaten/kota hingga provinsi.

Dia sangat berharap di daerah-daerah yang berpotensi terkena tsunami agar segera diberikan
sosialisasi dan edukasi terkait bencana alam seperti tsunami untuk mencegah terjadinya korban jiwa.[]


Tinggalkan Komentar