telusur.co.id - Direktur Eksekutif Pusat Advokasi dan Studi Konstitusi Demokrasi (PASKODE) Harmoko M.Said menanggapi Deputi Hukum Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud, Todung Mulya Lubis yang mengajukan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk memberikan keterangan pada sidang perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2024.

Menurut Harmoko, permintaan menghadirkan Kapolri sebagai saksi dalam sidang PHPU di MK tidak ada rekevansinya.

"Tidak ada relevansinya, sebab dalam UU pemilu Jo UU Polri bahwa Polri itu bersikap netral, sehingga kalau Kapolri dihadirkan sebagai Saksi sama hal mendorong Polri untuk tidak bersikap netral, dikhawatirkan juga akan membentuk opini bahwa Polri tidak netral dan keberpihakan kepada salah satu pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden," kata Harmoko kepada wartawan, Selasa (2/4/24).

Diketahui, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010, bahwa pengertian saksi tersebut diperluas sehingga saksi bukan terletak pada apakah dia melihat, mendengar, atau mengalami sendiri suatu peristiwa, melainkan pada relevansi kesaksiannya dengan perkara yang sedang diproses. 

"Disamping itu dapat menimbulkan persepsi negatif dan asumsi-asumsi meluas di kalangan masyarakat terhadap insitusi Polri yang saat ini tingkat kepercayaan masyarakat cukup tinggi dalam mewujudkan pengabdian bagi bangsa dan negara, termasuk mewujudkan Pemilu yang aman dan damai," ujarnya.
 
Harmoko menilai, ini tidak boleh terjadi MK meminta keterangan demi menjaga asas netralitas Polri dalam Pemilu.
PASKODE berharap bahwa sidang PHPU di MK berjalan sesuai dengan kewenangan MK secara konstitusional dan berlandaskan kode etik dan kode perilaku Hakim MK. 

"Kita berharap tidak ada laporan terhadap Hakim Konstitusi ke MKMK karena nihil dugaan pelanggaran kode etik hakim MK. Oleh karena itu kami minta asas legalitas dan standart etik dalam sidang PHPU dijunjung tinggi," pungkasnya. [Tp]