telusur.co.id - Peran negara dalam pemenuhan hak-hak konstitusional keagamaan warga negara memiliki dua pola yakni negara bersikap aktif dan negara bersikap pasif. Model yang tertuang dalam UUD 1945 ini pada akhirnya menghasilkan format relasi negara dan agama yang kompromistis.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva mengatakan negara tampil dalam dua wajah dalam relasi dengan agama yakni negara bersikap aktif dan negara beriskap pasif.
“Negara berperan aktif saat negara menjadikan seluruh peraturan perundang-undangan didasari pada Sila Pertama Pancasila yakni Ketuhanan Yang Maha Esa,” ujar Hamdan dalam Seminar Nasional, Milad ke-15 dan Pelantikan Majelis Pengurus Nasional (MPN) Himpunan Ilmuwan dan Sarjana Syariah Indonesia (HISSI) periode 2025-2029 di Jakarta, Kamis (26/12/2024).
Sedangkan negara berperan pasif, kata Hamdan, saat negara memastikan jaminan kebebasan bergama dan beribadat sesuai dengan keyakinan, agama dan kepercayaan.
“Pasal 29 (2) dan Pasal 28E ayat (1). Serta hak atas kebebasan meyakini kepercyaaan, menyatakan sikap dan pikiran sesuai hati nuraninya (Pasal 28E ayat (2). Pada poin ini negara bersikap pasif,” tegas Hamdan.
Meski demikian, Hamdan mengungkap masih terdapat persoalan dalam urusan hubungan agama dan negara. Menurut dia, hingga saat ini masih tersisa perdebatan ideologi mengenai cita-cita seperti ide mendirikan negara Islam, terdapatnya ekspresi keagamaan atau keyakinan yang menimbulkan benturan sosial, serta masih terdapatnya isu mayoriats dan minoritas dalam persoalan peribadatan dan pendirian rumah ibadah.
“Meski isu relasi agama dan negara menemukan titk temu dan kompromi, karena memang pendekatannya sains tidak lagi pengajuan yang basisnya dogmatis maupun penolakan yang sifatnya apologetik,” kata Hamdan.
Dalam kesempatan yang sama Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Pembangunan Veteran (UPN) Jakarta Wicipto Setiadi mengatakan Indonesia negara berketuhanan yang berlandaskan Pancasila yang menjadikan agama sebagai sumber nilai dalam berbangsa dan bernegara.
“Indonesia negara hukum yang bercirikan khas Pancasila yang ciri pokoknya adalah kebebasan beragama sebagaimana disebut dalam sila pertama Pancasila,” tegas Wicipto.
Dia menyebutkan dalam UUD 1945 terdapat sejumlah aspek hukum keagamaan seperti kebebasan beragama dan beribadah, perlindungan hak minoritas, pengakuan agama resmi, peraturan pernikahan dan perceraian, serta pengaturan warisan dan harta benda.
“Negara menjamin kebebasan beragama, perlindungan hak dasar bernegara, pengaturan keragaman beragama serta peraturan hubungan antar agama,” tegas Wicipto.
Sementara Ketua Umum Himpunan Sarjana Syariah Indonesia (HISSI) Amin Suma mengatakan pengaturan mengenai hak konstitisional keagamaan tidak dapat dilepaskan dari spirit yang tertuang dalam piagam madinah era Nabi Muhammad SAW.
"Dapat disebutkan pengaturan hak konstitusional keagamaan di piagam madinah menjadi konstitusi pertama di dunia," kata Guru Besar hukum Islam UIN Jakarta ini.
Dia meyakini sikap para ulama Indonesia saat menerima rumusan UUD 1945 tidak terlepas dari bacaan sejarah Islam tak terkecuali dokumen yang tertuang dalam piagam madinah.
"Dalam piagam madinah itu memuat mengenai ketetapan (taqriri), perbuatan (fi'li), dan ucapan (qauli) Nabi Muhammad yang dilanjutkan oleh para sahabatnya," tegas Amin.
Dalam kesempatan tersebut sekaligus digelar pelantikan pengurus Majelis Pengurus Nasional (MPN) Himpinan Sarjana Syariah Indonesia (HISSI) periode 2025-2029 dengan susunan pengurus sebagai berikut: Prof. Dr. Amin Suma, S.H., M.A., M.M (Ketua Umum MPN HISSI) dan Azharudin Latif, M.A. M.H. (Sekjen), Dr Wahidudin Adams, S.H., M.A (Ketua Majelis Hukama) dan Dr. Ali Hanafiah, S.H., M.H. (Sekretaris), Dr. Abdul Manaf, M.H. (Ketua Majelis Pembina) dan Dr. Ilman Hasyim, S.H.I., M.H. (Sekretaris), serta Prof. Dr. Tholabi Kharlie, S.H., M.H (Ketua Majelis Pakar) dan Prof. Dr. Nur Hidayah, M.A. Ph.D (Sekretaris). [Tp]