Transformasi Digital dan Tantangan Bea Cukai di tengah Booming E-Commerce - Telusur

Transformasi Digital dan Tantangan Bea Cukai di tengah Booming E-Commerce


Telusur.co.id -Penulis: Zain Julia Khalda, Mahasiswi Ilmu Administrasi Fiskal, Fakultas Ilmu Administrasi.

Dunia mengalami transformasi digital pesat, dan e-commerce menjadi salah satu manifestasinya. Melalui platform perdagangan elektronik, bisnis lintas negara semakin mudah dilakukan, mengubah lanskap perdagangan internasional. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) mencatat, 90% barang kiriman luar negeri kini berasal dari platform perdagangan elektronik (PPMSE). Untuk mengatasi tantangan ini, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 96 Tahun 2023 sebagai pembaruan PMK Nomor 199/PMK.010/2019.

PMK 96/2023 bertujuan memberikan kepastian hukum terkait kepabeanan, cukai, dan pajak impor-ekspor barang kiriman. Selain itu, aturan ini melindungi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dari gempuran produk impor. Meski memiliki tujuan positif, tantangan implementasi mencakup kompleksitas regulasi, kesiapan infrastruktur teknologi informasi (IT), dan kebutuhan penegakan hukum yang konsisten.

Perubahan Penting dalam PMK 96/2023
E-commerce kini diakui sebagai importir. Sebelum aturan ini, e-commerce hanya bertindak sebagai perantara pembelian barang dari luar negeri. PMK 96/2023 mengatur kewajiban kemitraan antara PPMSE dan DJBC untuk transaksi yang mencapai lebih dari 1.000 kiriman per tahun. Kemitraan ini mewajibkan pertukaran data elektronik berupa katalog dan invoice. Kepala Subdirektorat Impor DJBC, Chotibul Umam, menyebut bahwa dengan katalog elektronik dan invoice elektronik, DJBC dapat merekonsiliasi data antara e-invoice PPMSE dan consignment note (CN) yang dikirimkan Perusahaan Jasa Titipan (PJT) sebagai pemberitahuan pabean dan pengaturan perbedaan perlakuan antara barang hasil transaksi perdagangan (self-assessment) dan non-perdagangan (official-assessment). Hal ini diharapkan meningkatkan efisiensi administrasi dan pengawasan kepabeanan.

Adapun katalog elektronik wajib memuat informasi seperti identitas penjual, uraian barang, harga barang dengan cara penyerahan Delivery Duty Paid (DDP), spesifikasi barang, hingga tautan URL. Hal ini mendukung DJBC dalam proses customs clearance yang lebih cepat dan akurat. Selain itu, beberapa komoditas, seperti kosmetik, produk besi dan baja, sepeda, serta jam tangan, kini dikenakan tarif most favoured nation (MFN). Upaya ini dirancang untuk melindungi UMKM dan industri dalam negeri dari persaingan tidak sehat dengan produk asing.

Selain itu, pemerintah juga menerbitkan Permendag Nomor 31 Tahun 2023, yang menetapkan batas minimum harga USD100 untuk barang impor langsung. Regulasi ini juga menciptakan daftar barang positif (positive list) yang diperbolehkan masuk melalui e-commerce lintas negara. Upaya ini bertujuan menciptakan ekosistem perdagangan elektronik yang sehat dan adil, melindungi konsumen, serta mendorong penggunaan produk dalam negeri.

Tantangan dan Praktik Splitting
Masalah lain yang dihadapi e-commerce lintas negara adalah praktik splitting, yakni manipulasi jumlah pengiriman dalam volume kecil untuk menghindari bea masuk. Praktik ini merugikan negara karena tidak memperoleh kontribusi pajak yang seharusnya. Lebih jauh, mekanisme pasar terganggu karena produk impor dijual dengan harga di bawah wajar, yang dicurigai sebagai bentuk dumping.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), produk impor nonmigas asal Tiongkok mendominasi pasar Indonesia, dengan nilai mencapai 35,20% dari total impor pada Juni 2024. Tindakan dumping ini mempersulit UMKM bersaing, terutama karena produk impor sering kali dijual lebih murah. Dalam konteks hukum internasional, dumping diatur melalui ketentuan General Agreement on Tariffs and Trade (GATT), khususnya Article VI yang memungkinkan tindakan antidumping.

Indonesia memiliki hak untuk memberlakukan kebijakan antidumping terhadap negara pelaku, namun langkah ini harus dipertimbangkan secara hati-hati. Sebagai anggota World Trade Organization (WTO), Indonesia wajib mematuhi aturan perdagangan internasional sekaligus menjaga hubungan dagang dengan negara lain. Pemerintah Indonesia perlu membuka dialog dengan Tiongkok untuk mengatasi masalah ini secara diplomatis guna mencegah ketegangan perdagangan.

Implikasi dan Kebijakan Tarif
Peningkatan tarif impor menjadi salah satu langkah preventif untuk melindungi industri dalam negeri. Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan mengusulkan tarif hingga 200% untuk barang impor asal Tiongkok, sebagai respons terhadap lonjakan produk Tiongkok di pasar domestik. Langkah ini diharapkan memberi ruang lebih besar bagi UMKM untuk tumbuh tanpa terganggu oleh persaingan yang tidak sehat. Namun, kebijakan ini harus diimbangi dengan pengawasan ketat dan edukasi kepada pelaku usaha agar patuh terhadap regulasi. Pemerintah juga perlu memastikan bahwa peningkatan tarif tidak memengaruhi harga barang secara signifikan bagi konsumen, terutama barang yang tergolong kebutuhan pokok.

E-commerce merupakan sektor lintas sektor yang memerlukan kolaborasi berbagai pihak. Regulasi yang dinamis dan inklusif sangat penting untuk menciptakan ekosistem perdagangan yang sehat. DJBC, Kementerian Perdagangan, Kementerian Keuangan, serta pelaku e-commerce perlu bersinergi dalam mengatasi tantangan seperti dumping, splitting, dan predatory pricing. Dengan terbitnya PMK 96/2023 dan berbagai regulasi terkait, pemerintah berupaya menciptakan keseimbangan antara memanfaatkan peluang e-commerce dan melindungi industri dalam negeri. Melalui kebijakan yang tegas, kerja sama lintas sektor, dan pengawasan yang konsisten, Indonesia dapat mengatasi tantangan e-commerce lintas negara. Hal ini tidak hanya akan mendukung pertumbuhan UMKM, tetapi juga menjaga keadilan dalam perdagangan global dan memberikan kontribusi positif bagi perekonomian nasional.


Tinggalkan Komentar