Uji Sidang Bintang Dua TNI AD Promosi Doktor Hukum, Ketua MPR RI Dukung Perlunya Aturan Pengobatan yang Belum Berbasis Bukti - Telusur

Uji Sidang Bintang Dua TNI AD Promosi Doktor Hukum, Ketua MPR RI Dukung Perlunya Aturan Pengobatan yang Belum Berbasis Bukti


telusur.co.id - Ketua MPR RI sekaligus Dosen Tetap Pascasarjana Program Doktor Hukum Universitas Borobudur dan Wakil Ketua Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo menjadi penguji dalam Ujian Sidang Terbuka Promosi Doktor Hukum Universitas Borobudur, Mayjen TNI dr. Sutan Finekri Arifin Abidin. Promovendus merupakan dosen tetap Universitas Pertahanan (UNHAN) yang juga menjabat sebagai Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UNHAN, serta Komite Hukum Perumahsakitan RSPAD Gatot Subroto. Mengangkat tema disertasi tentang 'Perlindungan Hukum Terhadap Pasien Dari Pelaku Pengobatan Yang Belum Berbasis Bukti'.

"Perlindungan hukum berhubungan dengan upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan, agar tercipta rasa aman dan tertib di dalam masyarakat. Upaya itu bisa dimulai dari pencegahan melalui materi hukum, supaya tidak terjadi sesuatu hal yang bisa merugikan hak seseorang. Perlindungan hukum melalui penegakan hukum, atau sering kita sebut dengan istilah law enforcement, merupakan salah satu yang dibahas dalam disertasi ini," ujar Bamsoet usai menjadi penguji Sidang Terbuka Promosi Doktor Hukum Universitas Borobudur Mayjen TNI dr. Sutan Finekri Arifin Abidin, Jakarta, Selasa (1/8/23).

Penguji lainnya antara lain, penguji internal Rektor Universitas Borobudur Prof. Bambang Bernanthos, Dr. Ahmad Redi, Promotor Prof. Faisal Santiago, dan Ko. Promotor Dr. Suparno, serta penguji eksternal Prof. Ade Saptomo dari Universitas Pancasila.

Hadir dalam acara promosi doktor tersebut antara lain Jenderal TNI AD (P) Prof AM Hendropriyono, Prof OC Kaligis, Kepala RSPAD Gatot Soebroto Letjen TNI AD dr. Budi Sulistya dan para jenderal lainnya dari RSPAD dan UNHAN.

Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini menjelaskan, penelitian ini menjadi relevan dengan telah disahkannya RUU Kesehatan oleh DPR RI dan pemerintah pada Selasa (11/7/23). Terlebih dengan adanya kemudahan bagi para dokter asing melakukan praktik kedokteran di Indonesia. Pemerintah perlu melakukan pengawasan yang ketat kepada mereka, sebagai bagian dari perlindungan terhadap pasien.

"Jika perlu, sebagaimana yang juga menjadi temuan dalam penelitian ini, pemerintah bisa membuat lembaga khusus yang menjalankan tugas dan fungsi dalam pengawasan praktik dokter asing. Lembaga khusus tersebut bisa terdiri dari perwakilan pemerintah dalam kementerian kesehatan, penegak hukum seperti Polri dan Kejaksaan, akademisi dan praktisi dunia kesehatan, serta organisasi profesi," jelas Bamsoet.

Ketua Dewan Pembina Perkumpulan Alumni Doktor Ilmu Hukum UNPAD (PADIH UNPAD) dan Kepala Badan Hubungan Penegakan Hukum, Pertahanan dan Keamanan KADIN Indonesia ini menerangkan penelitian ini juga menekankan pentingnya aturan hukum yang jelas terkait pemberian sanksi kepada dokter yang melakukan pengobatan yang belum berbasis bukti.

Sanksi yang diberikan antara lain bisa terdiri dari peringatan tertulis, pencabutan surat tanda registrasi atau izin praktik, hingga kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran. Bahkan tidak menutup kemungkinan juga menjatuhi hukuman pidana kurungan paling lama satu tahun.

"Penelitian ini juga menekankan perlunya pemerintah membentuk lembaga independen yang khusus mengkaji berbagai temuan yang dihasilkan oleh dokter sebelum dipublikasikan atau dipraktikan dalam tindakan medik. Dengan demikian diharapkan tidak ada lagi dokter yang mempromosikan atau menawarkan sebuah produk suplemen yang belum berbasis bukti. Sekaligus menghindari pasien mendapatkan pengobatan yang tidak didasari dengan bukti-bukti ilmiah yang relevan," terang Bamsoet.

Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila dan Wakil Ketu Umum FKPPI ini menambahkan, perlindungan hukum terhadap pasien bukan hanya mewujudkan kepastian hukum. Melainkan juga untuk memenuhi hak-hak pasien. Antara lain hak kenyamanan, keamanan, dan keselamatan; dan hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.

"Serta hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya," pungkas Bamsoet.


Tinggalkan Komentar