Wakil ketua DPD RI, Akhmad Muqowam mengungkapkan, dalam berdemokrasi etika politik terutama dalam konteks kontestasi pileg dan pilpres, harus beretika dan menjalankan etika.
Pasalnya, kata politisi senior Partai Persatuan Pembangunan (PPP) akan memunculkan satu kedamaian.
“Jika semua beretika maka akan muncul kedamaian” ucap dia dalam diskusi di komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (11/3/19).
Sekarang, kata mantan anggota komisi II DPR periode 2009-2014, yang terjadi dilapanga ketidakpercayaan yang luar biasa.
Namun, dirinya masih yakin hal itu hanya sesaat karena, masyarakat Indonesia memegang tegung silaturahmi yang telah tertanam dalam diri dan mengacu pada aturan sesuai dengan Pancasila.
“Yang terpenting, yang harus sama-sama di pahami adalah etika ada dalam ruh dari ideologi yang kita sepakati bersama yakni Pancasila, saripati nilai-nilai dalam sila-sila Pancasila itu harus menjadi etika kita dalam berpolitik,” tandasnya.
Sementara itu Pakar Psikologi Politik Irfan Aulia menjabarkan kontestasi pilpres dan pileg 2019. masyarakat pemilih, memilih karena pertimbangan tiga hal utama yakni, memilih karena sama identitasnya, memilih karena valuenya sama, dan memilih karena emosinya sama.
“Lalu mengapa ada konflik saat pemilihan, ini disebabkan karena differensiasinya ‘gak jelas. Hal ini terjadi pada kontestasi pilpres antara capres 01 dan 02. Pemilih melihat dari sisi identitas dua capres itu sama, sama-sama orang Jawa, sama-sama pernah menjadi birokrat. Dari sisi value, sama juga, sama-sama Pancasila. Tapi dari sisi emosi, ini yang beda dan ini yang dimainkan, maka banyaklah bermunculan serangan hoax-hoax,” ungkapnya.
Memilih karena emosi, lanjut Irfan, adalah sisi yang paling berbahaya sebab sangat berpotensi memecah belah. Konflik-konflik etika tidak akan pernah hadir dalam tataran kesamaan identitas dan value karena semuanya, peserta kontestasi bicaranya pasti sama yakni Pancasila dan NKRI. Tapi, kalau bicara emosi, konflik etika akan hadir. Politic disengagement juga akan hadir yakni masyarakat tidak lagi merasa memiliki politik, politik menjadi hal lain yang tidak berhubungan dengan kebutuhannya sehari-hari. Political distrust akan sangat kental.
“Lalu apa yang harus dilakukan. Kita semua harus memperhatikan dan melakukan upaya-upaya mengelola dan mengedukasi emosi rakyat yang berbeda-beda itu menjadi sama yakni menebarkan sense of hope, memunculkan harapan yang sama akan sejahteranya negeri ini. Ini sangat penting, sebab jika politic disengagement yang hadir, maka kita akan kehilangan negara ini akibat political distrust yang sangat tinggi,” tandasnya.[asp]