telusur.co.id -Liburan akhir tahun menjadi momen yang dinanti banyak orang untuk beristirahat dan menyegarkan pikiran setelah menjalani rutinitas sepanjang tahun. Namun, di balik euforia tersebut, berbagai penawaran diskon dan tren di media sosial kerap memicu perilaku konsumtif berlebihan atau fear of missing out (FOMO), yang berpotensi mengganggu kesehatan finansial.
Menanggapi fenomena tersebut, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Airlangga (UNAIR), Prof. Dr. Rudi Purwono, S.E., M.S.E., membagikan sejumlah pandangan dan tips agar masyarakat tetap cerdas dalam mengelola keuangan meski tengah menikmati liburan akhir tahun.
Prof. Rudi menyoroti bahwa perilaku boros selama liburan sering kali dipengaruhi faktor psikologis, bukan semata-mata rendahnya literasi keuangan. Menurutnya, berbagai program potongan harga kerap menciptakan ilusi berhemat yang justru mendorong pembelian impulsif tanpa mempertimbangkan manfaat jangka panjang.
Di era digital, tekanan sosial untuk menampilkan momen liburan di media sosial juga membuat keputusan konsumsi menjadi tidak rasional. “Pengeluaran lebih didorong oleh keinginan sesaat dibandingkan pertimbangan rasional, terutama yang berkaitan dengan kebutuhan,” jelas Prof. Rudi.
Untuk menghindari krisis keuangan setelah masa liburan, Prof. Rudi menyarankan pentingnya disiplin dalam menyusun anggaran atau budgeting. Ia merekomendasikan penggunaan rumus sederhana dalam mengelola uang saku selama liburan agar pengeluaran tetap terkendali.
“Salah satu pendekatan sederhana adalah mengalokasikan maksimal 20–30 persen uang saku bulanan untuk kebutuhan hiburan dan leisure selama liburan,” ungkapnya. Sementara itu, sisa anggaran sebaiknya tetap dialokasikan untuk kebutuhan rutin dan tabungan. Batasan tersebut berfungsi sebagai pagar psikologis agar tidak mudah tergoda oleh diskon besar yang ditawarkan.
Selain itu, Prof. Rudi juga mengingatkan masyarakat agar lebih bijak dalam memanfaatkan fasilitas buy now pay later atau paylater yang kini semakin marak. Menurutnya, paylater pada dasarnya merupakan utang jangka pendek yang berpotensi menimbulkan beban keuangan akibat bunga atau denda yang tinggi di kemudian hari.
Ia menegaskan pentingnya tidak menjadikan utang sebagai sarana untuk memenuhi gaya hidup atau mengikuti tren liburan. “Penting bagi masyarakat untuk menerapkan mindset: jika belum memiliki pendapatan tetap, maka prinsipnya sederhana, jangan membiayai gaya hidup dengan utang,” tegasnya.
Lebih lanjut, Prof. Rudi menekankan bahwa liburan yang bermakna tidak selalu identik dengan perjalanan jauh atau pengeluaran besar. Esensi liburan adalah untuk mengisi ulang energi dan menjaga keseimbangan hidup. Dengan anggaran terbatas, masyarakat tetap dapat menikmati liburan berkualitas melalui aktivitas sederhana seperti menekuni hobi, berkumpul bersama keluarga, atau mengikuti kegiatan yang dapat meningkatkan kapasitas diri.
Ia juga mengingatkan pentingnya kesiapan finansial dalam menghadapi aktivitas setelah liburan, termasuk memasuki semester baru bagi pelajar dan mahasiswa. Kondisi keuangan yang terganggu akibat pengeluaran berlebihan selama liburan dapat berdampak pada fokus belajar dan produktivitas.
“Pada akhirnya, kebebasan finansial bukan soal seberapa besar uang yang dimiliki, melainkan seberapa bijak kita menggunakannya,” pungkas Prof. Rudi.



