telusur.co.id -Tragedi ambruknya bangunan pondok pesantren di Kabupaten Sidoarjo menyisakan duka mendalam bagi para santri dan keluarga mereka. Peristiwa ini telah menelan korban sebanyak 66 meninggal dunia (data menurut Basarnas, Senin, 6 Oktober 2025).
Sebagai bentuk kepedulian dan tanggung jawab sosial, Kelompok Perempuan dan Sumber-Sumber Kehidupan (KPS2K) bersama mitra program INKLUSI, PKBI, dan PPDis melakukan aksi tanggap darurat dengan menyalurkan bantuan responsif GEDSI (Gender Equality, Disability, and Social Inclusion) kepada para wali santri dan keluarga korban di lokasi pengungsian area ponpes di Buduran, Sidoarjo.
Kegiatan ini tidak hanya berfokus pada pemenuhan kebutuhan khusus seperti perlengkapan kebersihan badan, kamar mandi, dan pakaian dalam, tetapi juga melakukan identifikasi kebutuhan pemulihan bagi wali santri dan keluarga pasca tragedi ini, guna menekankan pendekatan pemulihan psikososial berbasis keluarga. Menurut Direktur KPS2K, Iva Hasanah, langkah cepat ini menjadi bagian dari komitmen KPS2K dan mitra INKLUSI untuk menghadirkan keadilan sosial bagi kelompok rentan.
“Kami tidak hanya datang membawa bantuan fisik, tapi juga ruang empati dan pemulihan bagi keluarga korban. Pendekatan kami berbasis gender dan inklusif, agar semua keluarga korban bisa merasakan dukungan yang setara dalam menghadapi duka ini,” ujar Iva Hasanah.
Pendekatan yang dilakukan menekankan pentingnya dukungan emosional, informasional, dan sosial bagi pemulihan individu yang mengalami trauma. Dalam konteks ini, pendampingan keluarga menjadi bagian penting dari proses self-healing para wali santri. Dukungan emosional dari komunitas, doa bersama, dan kegiatan spiritual menjadi cara kolektif untuk memulihkan luka batin serta memperkuat solidaritas sosial di tengah krisis.
Adapun rekomendasi yang seharusnya dilakukan oleh pihak ponpes dan didukung oleh pemerintah adalah mencakup dialog reflektif antara perwakilan keluarga korban, tokoh agama, pemerintah daerah, dan tim psikososial. Tujuannya adalah menggali pembelajaran bersama tentang pentingnya sistem keamanan lembaga pendidikan serta memperkuat ketahanan keluarga dan komunitas dalam menghadapi situasi bencana. Dalam kegiatan ini, KPS2K mengajak semua pihak untuk menempatkan pemulihan sebagai proses sosial yang holistik, bukan sekadar penanganan fisik.
“Kami melihat kekuatan luar biasa dalam kebersamaan para wali santri. Mereka datang dengan keluarga, saling menguatkan, saling mendengarkan, dan memaknai duka sebagai bagian dari perjuangan untuk bangkit. Inilah yang kami sebut collective self-healing,” tambah Iva Hasanah.
Belajar dari peristiwa ini, KPS2K dan mitra INKLUSI berkomitmen mensosialisasikan pendekatan pendampingan pascatrauma melalui jaringan komunitas perempuan dan pemerintah terkait. Langkah ini diharapkan dapat memperkuat kapasitas keluarga dan masyarakat dalam menghadapi bencana dengan perspektif yang lebih manusiawi dan inklusif.