Telusur.co.id -Oleh: Boy Anugerah, S.I.P., M.Si., M.P.P., Alumnus Magister Ketahanan Nasional UI dan Direktur Eksekutif Baturaja Project.
Dalam sebuah kesempatan seminar di Lemhannas RI pada 2015, Profesor Geoffrey Till pakar keamanan maritim dari Inggris, menyampaikan bahwa untuk menjadi negara berkekuatan maritim, sebuah negara harus harus mampu mengoptimalkan sumber daya maritim yang dimiliki melalui tata kelola dan penyusunan visi misi yang jelas. Bagi Till, negara maritim (archipelagic country) dan negara yang berkekuatan maritim (maritime power state) adalah dua hal yang berbeda. Jauh sebelum pandangan Till di era modern, Alfred Tayer Mahan, bapak geopolitik dunia, mengungkapkan bahwa sebuah negara berkekuatan maritim harus mampu memadukan seluruh unsur dan sumber daya yang dimiliki, baik itu wilayah perairan dari sisi geografis, kekayaan sumber daya perairan, penduduk, pemerintah, maupun regulasi yang dibuat.
Dewasa ini, diskursus maritim lebih didominasi oleh pemanfaatan sumber daya laut guna kepentingan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat ketimbang diskursus mengenai keamanan yang cenderung high politics dan bertegangan tinggi bagi hubungan antarnegara. Negara-negara di kawasan Indo Pasifik, termasuk Indonesia, sangat menyadari arti penting sumber daya laut seperti ikan, terumbu karang, gelombang laut, hingga hutan bakau, dalam menggerakkan perekonomian, yakni menciptakan kemandirian ekonomi berbasis maritim, sekaligus memacu pertumbuhan ekonomi secara progresif dan berkelanjutan.
Fatsun lama yang mengatakan bahwa siapa yang menguasai laut maka akan menguasai dunia perlahan mulai ditinggalkan karena frasa “menguasai” cenderung membawa negara-negara dunia menjadi ekspansif dan tak segan-segan melakukan aksi koersif terhadap satu sama lain. Dari sinilah konsepsi ekonomi biru (blue economy) muncul. Lebih dari itu, pemanfaatan sumber daya maritim tidak hanya dilandasi oleh motif ekonomi nasional, tapi dilumuri oleh kesadaran bahwa keberlanjutan hanya dapat tercipta apabila praksis pemanfaatan sumber daya maritim senantiasa memperhatikan aspek keselarasan dengan alam.
Konsepsi ekonomi biru
Bank Dunia (World Bank) pada 2017 secara ofisial mengeluarkan definisi terhadap konsepsi ekonomi biru, yakni penggunaan sumber daya laut secara berkelanjutan untuk pertumbuhan ekonomi, peningkatan penghidupan dan pekerjaan, serta ekosistem dan kesehatan laut. Pendekatan ekonomi biru diperkenalkan untuk memfasilitasi pembangunan yang tepat dan mengelola persaingan kepentingan dalam pemanfaatan ruang laut tanpa menempatkan prioritas ekonomi untuk bersaing dengan kebutuhan ekologi dan sosial. Dalam dinamikanya, definisi ekonomi biru menjadi beragam karena setiap institusi global seperti Komisi Eropa, Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), dan the United Nations Environment Programme (UNEP), memiliki cara pandang masing-masing. Namun demikian, ada kesamaan dari semua definisi yang mereka keluarkan, yakni pentingnya mengoptimalkan sumber daya laut bagi kepentingan ekonomi dan sosial masyarakat, sembari berupaya seoptimal mungkin meminimalkan risiko lingkungan terhadap kelestarian laut.
Indonesia sebagai negara maritim dengan penguasaan ribuan pulau-pulau, berada di posisi strategis antara dua samudera; Hindia dan Pasifik, garis pantai terpanjang kedua di dunia, zona ekonomi eksklusif (ZEE-I) terbesar keenam di dunia, serta keanekaragaman hayati yang melimpah, menyadari urgensi ekonomi biru bagi perekonomian nasional. Ketika Joko Widodo naik ke tampuk pimpinan nasional pada 2014, Indonesia mencanangkan diri sebagai Poros Maritim Dunia (World Maritime Axis), yang mana konsepsi dan visi ekonomi biru menjadi bagian integral di dalamnya. Sayangnya, visi ini tidak berjalan pada periode kedua pemerintahan Joko Widodo sepanjang 2019-2024. Dewasa ini, terma ekonomi biru kembali bergema kuat. Komitmen pemerintahan Presiden Prabowo Subianto untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8 persen, swasembada pangan, dan kemandirian energi, menjadi pemantiknya. Visi besar tersebut suka tidak suka “memaksa” rezim saat ini untuk menoleh kembali komitmen lama yang pernah digaungkan.
Perairan Indonesia, terutama laut, memiliki potensi ekonomi yang sangat besar. Bank Dunia memproyeksikan bahwa ekonomi laut Indonesia memiliki nilai ekonomis lebih dari USD 280 miliar dalam setahun. Pariwisata terumbu karang saja diproyeksi mampu menangguk keuntungan sebesar USD 3 miliar per tahun apabila diberdayakan secara optimal. Demikian juga dengan produksi perikanan tangkap yang senantiasa mengalami surplus perdagangan tiap tahun yang menandakan tingginya permintaan dari pasar internasional. Menguatnya diskursus perdagangan karbon pada COP-30 UNFCCC di Belem, Brazil, beberapa hari lalu, juga menjadi kabar positif bagi Indonesia yang menguasai ekosistem hutan bakau terluas di dunia dengan cakupan hampir 3 juta hektar dan berperan penting dalam penyerapan karbon. Dengan pemetaan potensi sumber daya laut sedemikian, mimpi Indonesia untuk menjadi negara berkekuatan maritim, - tidak sekedar negara maritim yang taken for granted, dapat dengan mudah direalisasikan.
Jalan panjang negara maritim
Seperti yang diungkapkan oleh Geoffrey Till dan Alfred Tayer Mahan, konversi sebuah negara maritim menjadi negara berkekuatan maritim, termasuk dari sisi ekonomi, hanya dapat terwujud apabila ada kesatuan dan gerak integral dari semua sumber daya yang dimiliki. Dalam konteks ini, peran pemerintah sebagai perumus kebijakan memainkan peranan kunci. Jika melihat situasi dan kondisi hari ini, upaya untuk menjadi negara berkekuatan maritim yang mampu merealisasikan visi misi rezim yang berkuasa hari ini masih harus menempuh jalan panjang. Pertama, dari sisi ekonomi, yang mana pengelolaan sumber daya maritim masih memiliki kekurangan dari sisi manufaktur berbasis kelautan yang belum mampu menunjang hilirisasi perikanan dan kelautan, industri perkapalan yang belum sepenuhnya mandiri, listrik belum teraliri secara menyeluruh, serta pemanfaatan laut dan pesisir melalui pariwisata bahari yang belum optimal dari sisi kontribusi terhadap produk domestik bruto.
Kedua, dari sisi lingkungan. Kekayaan Indonesia dari sisi terumbu karang dan hutan bakau menjadi tidak optimal karena habituasi penduduk dan pelaku usaha yang menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan. Kerusakan lingkungan disebabkan oleh perikanan tangkap yang bersifat destruktif, pembangunan pesisir dan sektor pariwisata yang tidak mengindahkan kelestarian alam, -hanya berbasis profit-oriented. Selain itu, ada ancaman yang lebih berbahaya, yakni perubahan iklim dalam bentuk kenaikan suhu air laut, sehingga mengancam sebagian besar ekosistem terumbu karang di Indonesia. Ketiga, dari sisi sosial. Secara logika, laut adalah sumber kehidupan dengan segala sumber daya yang dikandung, serta mengelilinginya. Artinya, masyarakat yang berada di sekitar laut dan pesisir sudah seharusnya berada dalam kondisi yag makmur dan sejahtera. Hanya saja tesis ini secara empirik tidak berjalan. Masyarakat pesisir dan masyarakat yang hidup dan bermata pencaharian dari laut justru menjadi salah satu penyumbang besar masyarakat miskin dan belum sejahtera di Indonesia.
Ekonomi biru sejatinya bukan sekadar cara pandang dalam memanfaatkan sumber daya laut. Ekonomi biru adalah falsafah hidup yang mentautkan seluruh energi kehidupan untuk memberikan manfaat yang besar bagi seluruh makhluk hidup. Berbeda dengan ekonomi hijau yang tidalk steril dari kepentingan korporasi dan pemodal demi kelanjutan bisnis mereka, ekonomi biru mensyaratkan penghormatan terhadap alam sejak dari pikiran dalam pemanfatannya. Jika hari ini pemerintah belum cukup optimal dalam memanfaatkan sumber daya laut bagi kepentingan ekonomi, maka menengok kearifan lokal masyarakat pesisir dalam berdialektika dan hidup dari alam dapat menjadi solusi. Demikian juga halnya dalam menjaga ekosistem laut dari bahaya perubahan iklim, kearifan lokal masyarakat dalam memitigasi bencana jauh lebih mumpuni dari upaya-upaya berbasis teknologi tinggi tapi tidak kompatibel dan adaptif terhadap lingkungan.
Strategi pemerintah
Ada beberapa langkah strategis yang dapat ditempuh oleh pemerintah agar konsep ekonomi biru dapat dikontekstualisasikan dan berkontribusi positif bagi kesejahteraan masyarakat dan kesinambungan alam. Pertama, mengadopsi kearifan lokal dalam tata kelola dan pemanfaatan sumber daya laut dan perairan. Adopsi ini dapat dijalankan secara teknis dengan melibatkan partisipasi masyarakat maritim lokal secara langsung dalam penyusunan kebijakan di sektor kemaritiman. Kedua, negara hadir secara langsung dalam pemberdayaan masyarakat maritim dan pemeliharaan lingkungan seperti menjamin ketersediaan infrastruktur maritim, mendukung inklusi keuangan, membangun koperasi maritim, serta mendekatkan industri pengolahan dengan masyarakat maritim agar dapat mendukung nilai tambah komoditas. Ketiga, negara harus hadir secara langsung dalam melindungi ekosistem maritim dengan formulasi kebijakan yang pro-lingkungan, serta penegakan hukum tanpa pandang bulu kepada pelaku usaha yang merusak ekosistem maritim. Terakhir, keamanan maritim menjadi kunci dengan menugaskan aparat keamanan dalam mendukung tegaknya hukum nasional dan hukum internasional dalam menjaga kedaulatan wilayah perairan dan laut nasional. Penegakan hukum menjadi kunci agar seluruh pemangku kepentingan di sektor maritim mulai dari pemerintah, masyarakat, dan pelaku usaha dapat mendayung ekonomi biru secara kolaboratif dalam mewujudkan kemajuan bangsa dan negara.



