telusur.co.id - BAP DPD RI mempertanyakan upaya dan peran Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia/P2MI dalam melindungi pekerja Indonesia di luar negeri dari kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
Dalam rapat bersama Plt. Dirjen Pelindungan Kementerian P2MI, Irjen Pol. I Ketut Suardana, BAP DPD RI menerima pengaduan dari Yayasan Sambinoe terkait dugaan tindak pidana perdagangan orang di Aceh dan Sumatera Utara. Dimana, korban dijanjikan bekerja sebagai pelayan toko di Malaysia, namun dalam perjalanan justru dibawa ke Myanmar dan dipaksa bekerja sebagai admin penipuan online dan judi online.
"Apa upaya Kementrian Pelindungan Pekerja Migran dalam memberantas TPPO, salah satunya kasus yang disampaikan oleh Yayasan Sambinoe ini, langkah apa saja yang sudah dilakukan untuk memulangkan korban," tanya Wakil Ketua BAP DPD RI, Yulianus Henock Sumual dalam RDPU yang berlangsung di Ruang Majapahit, Rabu, 4/12/2024.
Lebih lanjut Yulianus Henock menambahkan BAP DPD RI memandang perlu untuk duduk bersama antara pihak Kepolisian, Kementerian P2MI, Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Polhukam.
Senada dengan Henock, Anggota BAP DPD RI asal Sumatera Utara, Penrad Siagian menyatakan keprihatinannya atas adanya selisih data antara World Bank dengan Kementerian P2MI tentang jumlah pekerja Indonesia di luar negeri. Dimana, World Bank menyatakan terdapat sekitar 9 juta jumlah pekerja Indonesia yang tersebar di berbagai negara, sedangkan data Kementerian P2MI hanya mencatat sebesar 3 juta pekerja.
"Selisihnya sangat besar, artinya lebih dari 5 juta anak bangsa yang tidak memiliki status pekerjaan yang jelas. Artinya, mereka tidak akan mendapatkan pelindungan. Ini harus di cari penyelesaiannya. Pemerintah jangan fokus pada pekerja yang dokumennya lengkap karena kondisi mereka justru aman-aman saja, justru harus dipikirkan adalah yg ilegal," ujar Penrad Siagian.
Lebih lanjut Penrad Siagian menilai dibutuhkan perubahan peraturan yang dapat memberikan pelindungan kepada seluruh pekerja Indonesia dimana pun berada, termasuk kepada pekerja yang tidak memiliki dokumen yang lengkap.
"Ini sindikat internasional sehingga tidak mudah untuk memberantasnya. Bayaran untuk para perekrut itu sangat besar dan pola perekrutan susah untuk dilacak karena mereka merekrut dan menuntun korban hanya melalui WhatsApp saja, apalagi ini terjadi di Myanmar yang merupakan wilayah konflik. Untuk itu memang dibutuhkan mekanisme atau skema yang tepat untuk memberantas TPPO," tambahnya.
Menjawab hal itu, Plt. Dirjen Perlindungan Kementerian Perlindungan Pekerja Migran, Irjen Pol. I Ketut Suardana mengatakan pihaknya telah mengambil langkah-langkah terkait pemberangkatan pekerja Indonesia secara ilegal yang berdampak pada kejadian perdagangan orang. Pada prinsipnya, Kementerian P2MI berkomitmen memberikan pelindungan kepada pekerja di luar negeri.
"Terkait kasus dari Aceh ini, pekerja yang berangkat yang disebutkan tadi masuk kategori illegal. Kewenangan kami hanya koordinasi. Kami sudah menerima pengaduan dari orang tua korban. Kami juga sudah membuat surat ke Kedutaan Myanmar dan menunggu respon. Kasus online scammer ini paling banyak dilaporkan di Kamboja, Laos dan Myanmar, " ujarnya.
Dalam rapat, Ketua Yayasan Sambino, Teguh Agam Meriah menyampaikan adanya pengaduan dari seorang ibu berusia 48 tahun, yang memiliki anak laki-laki berinisial A, 28 tahun. Awalnya, A mengajukan lamaran bekerja ke Malaysia namun pihak penyalur justru menempatkannya di Myanmar. Di lokasi A bekerja, terdapat 20 pekerja asal Indonesia yang disekap dan bekerja 24 jam menjadi admin penipuan online dan judi online. Perusahaan kerap memberikan hukuman yang berat kepada pekerja yang tidak mampu mencapai target yang ditentukan, serta ancaman pembunuhan bagi pekerja yang mencoba melarikan diri.
"Korban pada akhirnya bisa berkomunikasi dengan keluarga dan berharap bisa dipulangkan. Kasus ini juga sudah ditangani Polda Aceh dan sudah dikomunikasikan ke pihak Kedubes, namun hingga kini tidak ada kemajuan dalam upaya pembebasan A dan kawan-kawannya, " jelas Teguh.[]