Pengamat Curigai Tiktok Digunakan untuk Propaganda Asing, Ini Alasannya - Telusur

Pengamat Curigai Tiktok Digunakan untuk Propaganda Asing, Ini Alasannya


telusur.co.id - Pengamat Intelijen ISESS, Khairul Fahmi, mensinyalir adanya dugaan operasi intelijen asing dibalik aksi demo yang berujung rusuh di DPR kemarin. Alasannya, sebelum demo terjadi, sebelumnya berbagai narasi menyesatkan dan opini penggiringan cukup masif di berbagai platform seperti tiktok dan yang lainnya. 

Ia pun menyebut para OTT asing itu sudah terlalu jauh mencampuri urusan dalam negeri negara lain. Harusnya mereka menjaga iklim demokrasi dan mematuhi regulasi yg ada di suatu negara

Khairul menyatakan pemanggilan TikTok dan Meta oleh Kementerian Komdigi merupakan langkah strategis untuk menegaskan tanggung jawab platform digital dalam menjaga ruang publik. Ruang digital memang telah membuka peluang demokratisasi, tetapi jangan lupa, ia juga membawa paradoks, bahwa kebebasan yang tanpa batas sering menjelma menjadi anarki. 

"Kekhawatiran soal kepentingan asing lewat TikTok atau Meta dapat dipahami karena platform global memang bisa dimanfaatkan untuk memengaruhi opini publik atau menyusupkan propaganda. Tapi menduga bahwa ada operasi intelijen asing, tentu butuh bukti yang jelas. Yang terpenting justru negara harus memperkuat regulasi, kerja sama internasional, dan literasi digital agar ruang digital kita tidak mudah diacak-acak siapa pun," kata Khairul, Kamis (28/8/2025).

Ia menjelaskan, anonimitas membuat ruang digital mudah berubah jadi arena kebencian, polarisasi, bahkan provokasi. Karena itu, negara tidak bisa absen. Regulasi dan kehadiran otoritas adalah keniscayaan, meskipun tetap harus dijalankan dengan batas dan definisi yang jelas.

"Yang dibutuhkan adalah orkestrasi lintas lembaga. Komdigi, aparat penegak hukum, dan kementerian/lembaga terkait, agar pengawasan ruang digital lebih sistematis, terukur, dan konsisten. Negara harus bisa menunjukkan diri sebagai regulator yang baik, bukan membungkam kebebasan, tetapi memfasilitasi ruang berpendapat, sekaligus memastikan batas intervensi dilakukan demi kebaikan bersama," ujarnya.

Ia menilai pernyataan Wamenkomdigi Angga Raka patut diapresiasi. Ia pun menegaskan bahwa platform perlu lebih proaktif memerangi hoaks berbasis AI serta konten disinformasi, fitnah, dan kebencian (DFK). 

"Ini sejalan dengan prinsip bahwa yang ditindak bukan aspirasi publik, melainkan manipulasi yang merusak demokrasi. Dengan pendekatan seperti itu, pemerintah menempatkan dirinya di jalur yang tepat, yaitu melindungi demokrasi sekaligus kebebasan berekspresi," ujarnya lagi.

Tapi, lanjutnya, penindakan saja tidak cukup. Demokrasi siber hanya bisa bertahan jika masyarakat juga diperkuat melalui literasi digital. Publik harus dilatih untuk lebih kritis, mampu mengenali hoaks, dan tidak gampang terprovokasi oleh konten manipulatif. 

"Tanpa itu, ruang digital akan terus jadi bumerang bagi demokrasi. Inilah pekerjaan rumah besar yang harus diintegrasikan ke dalam strategi jangka panjang negara, menghadirkan ruang digital yang sehat, aman, dan tetap demokratis," pungkasnya.[Nug] 


Tinggalkan Komentar