Revisi Perpres Jaminan Kesehatan Tunggu Salinan Putusan MA, Sampai Kapan ? - Telusur

Revisi Perpres Jaminan Kesehatan Tunggu Salinan Putusan MA, Sampai Kapan ?

Hery Susanto

telusur.co.id - Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) mengaku hingga kini belum menerima salinan putusan Mahkamah Agung (MA) terkait pembatalan kenaikan iuran BPJS Kesehatan.

Jika sudah menerima salinan putusan MA, BPJS Kesehatan siap mengeksekusi keputusan MA tersebut untuk memberlakukan kembali ke tarif semula. 

Selain itu BPJS Kesehatan akan mengembalikan selisih iuran peserta yang sudah dibayarkan pasca keputusan MA tersebut.

"BPJS Kesehatan telah mempelajari dan siap menjalankan Putusan MA tersebut. Saat ini pemerintah dan kementerian terkait dalam proses menindaklanjuti Putusan MA tersebut dan sedang disusun Perpres pengganti," ujar Kepala Humas BPJS Kesehatan M. Iqbal Anas Ma'ruf dalam keterangan tertulis, Kamis (2/4/2020).

Ketua Koordinator Nasional Masyarakat Peduli Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (KORNAS MP BPJS) dalam pernyataan persnya di Jakarta Jumat (3/4/2020) mengatakan bahwa Keputusan Mahkamah Agung yang membatalkan suatu ketentuan tidak langsung berlaku sejak putusan itu dibacakan, yang mana tercermin dari ketentuan dalam Perma yang mengatur hukum acara pengujian peraturan perundang-undangan.

Dalam putusannya, Mahkamah Agung menyatakan peraturan perundang-undangan yang dimohonkan keberatan tersebut sebagai tidak sah atau tidak berlaku untuk umum serta memerintahkan kepada instansi yang bersangkutan segera mencabutnya.

Kemudian, Mahkamah Agung mengirimkan salinan putusan kepada para pihak, dan dalam waktu 90 hari setelah salinan Putusan dikirim kepada Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan peraturan perundang-undangan.

Hery Susanto menjelaskan, dalam praktik terkadang Pejabat yang bersangkutan tidak melaksanakan kewajibannya, namun demi hukum peraturan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak mempunyai kekuatan hukum.

Skema pelaksanaan putusan hasil pengujian peraturan perundang-undangan oleh Mahkamah Agung berpotensi tidak menunjukkan asas kepastian, karena membutuhkan tindakan dari Pejabat lain, dalam hal ini Presiden RI dan BPJS Kesehatan .

Putusan pengadilan seharusnya berlaku sejak diputuskan, dan mengikat para pihak sejak saat itu juga. Adanya jeda 90 hari berlakunya putusan MA berpotensi menimbulkan penyalahgunaan wewenang oleh Pejabat yang terkait, dan mengurangi tingkat kepercayaan masyarakat kepada institusi peradilan.

Disamping itu dalam keterangan pers nya BPJS Kesehatan terkesan bias, apakah sudah menerima putusan MA atau belum menerimanya.

Menurut Iqbal, berdasarkan aturan MA,  maka putusan MA dapat dieksekusi oleh tergugat dalam kurun waktu 90 hari melalui aturan baru, atau jika tidak ada aturan baru dalam kurun waktu tersebut maka Perpres 75/2019 pasal 34 dianggap tidak memiliki kekuatan hukum atau dibatalkan.

"Intinya dalam waktu 90 hari ke depan setelah salinan keputusan diumumkan resmi, BPJS Kesehatan menunggu terbitnya Perpres pengganti. Saat ini sedang berproses," imbuhnya.

Hery Susanto menilai pernyataan pers BPJS Kesehatan tersebut tidak memberikan asas kepastian pelayanan. "Penjelasan bias dan membingungkan, itu ciri BPJS Kesehatan memang tidak sehat, harus terus diawasi kinerjanya, terutama pasca putusan MA soal pembatalan kenaikan iuran BPJS Kesehatan sebab ada potensi penyalahgunaan wewenang bahkan korupsi," kata Hery Susanto.

Hery Susanto menegaskan BPJS Kesehatan harus mengembalikan iuran seluruh pekerja, tidak saja Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) melainkan juga Pekerja Penerima Upah (PPU).

Dalam pernyataan persnya justeru BPJS Kesehatan hanya bahas pengembalian iuran peserta PBPU/peserta mandiri? 

"Pasca putusan MA, BPJS Kesehatan harus mengembalikan selisih iuran tersebut yang sudah dibayarkan peserta. Tidak saja iuran pekerja bukan penerima upah (PBPU)/ mandiri melainkan juga iuran Pekerja Penerima Upah (PPU) yakni pekerja yang bekerja di BUMN, BUMD dan Swasta sebesar 5% (lima persen) dari Gaji atau Upah per bulan dengan ketentuan : 4% (empat persen) dibayar oleh Pemberi Kerja dan 1% (satu persen) dibayar oleh Peserta," pungkas Hery Susanto.


Tinggalkan Komentar