telusur.co.id - Kritik Presiden Prabowo Subianto terhadap menteri yang melakukan wisata bencana terkait banjir di Sumatera dinilai bukan sekadar teguran moral, melainkan sinyal politik bahwa Presiden tidak ingin kabinet berjalan dengan logika dan panggungnya masing-masing. Dalam konteks ini, bencana menjadi ruang uji: siapa bekerja sebagai perpanjangan tangan presiden, dan siapa bergerak dengan agenda personal.
Pengamat politik Arifki Chaniago menilai, pernyataan tersebut menunjukkan Prabowo sedang menarik kembali kendali atas narasi dan komunikasi menteri yang selama ini tidak terkonsolidasi. Presiden ingin memastikan setiap kehadiran pejabat di lokasi krisis berada dalam satu komando, bukan menjadi inisiatif individual yang justru membingungkan publik.
“Tak bisa dipungkiri, di masa bencana sering kali muncul pejabat yang lebih sibuk membangun citra. Hadir membawa kamera, mengemas kepedulian secara visual, yang pada akhirnya berpotensi diterjemahkan publik sebagai investasi popularitas politik,” ujar Arifki, Selasa (16/12 /2025).
Namun menurutnya, fenomena tersebut juga tidak bisa sepenuhnya dilepaskan dari kosongnya ruang komunikasi pemerintah dalam penanganan bencana. Ketika negara tidak hadir dengan narasi yang solid dan terkoordinasi, ruang itu kemudian diisi oleh menteri secara individual sebagai upaya menunjukkan kehadiran negara. Masalah muncul ketika kehadiran itu dibarengi produksi konten berlebihan, sehingga niat baik justru kehilangan legitimasi di mata publik.
“Presiden seharusnya tidak terus-menerus dibebani urusan persepsi dan komunikasi. Jika kementerian dan lembaga yang berwenang tidak menjalankan fungsi komunikasinya secara maksimal, maka seluruh sentimen negatif—baik dari oposisi maupun publik—akan bermuara ke presiden,” tegasnya.
Lebih jauh, Arifki menilai, istilah wisata bencana dipilih Prabowo secara sengaja karena sederhana, mudah dipahami, dan langsung mengunci persepsi publik yang selama ini belum terkonsolidasi secara komunikasi. Bahasa tersebut menempatkan presiden sebagai pengoreksi, sekaligus menjadi peringatan agar menteri berhenti bermain simbol di tengah penderitaan warga, serta tidak saling berlomba membangun panggung di isu kemanusiaan.
“Ini pesan internal yang disampaikan secara eksternal. Tegas kepada menteri, sekaligus menenangkan publik,” katanya.
Dalam perspektif politik, langkah ini juga berfungsi menjaga otoritas presiden di dalam pemerintahan. Dengan menegur secara terbuka, Prabowo menunjukkan bahwa pusat kendali tetap berada di Istana, bukan di ruang media sosial para menteri.
Direktur Eksekutif Aljabar Strategic ini menilai, jika pola ini konsisten, kabinet Prabowo berpotensi bergerak lebih terkonsolidasi. Namun pada saat yang sama, pemerintah perlu memiliki narator yang kuat di luar presiden, agar komunikasi pemerintah tidak terus-menerus membebani kepala negara.
“Bencana menjadi cermin. Terlihat siapa yang benar-benar bekerja untuk negara, siapa yang sekadar berjalan di depan kamera, dan siapa yang tidak menjalankan tugasnya,” tutupnya.[Nug]



