telusur.co.id -Kisah perjuangan Maria Goreti Laura Saina atau yang akrab disapa Lala, mahasiswi baru Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa), menjadi bukti bahwa keterbatasan ekonomi bukanlah penghalang untuk meraih pendidikan tinggi.
Gadis asal Desa Watu Api, Kecamatan Kuwus, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, ini resmi diterima di Program Studi Gizi Unusa melalui beasiswa Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-K).
Lala merupakan anak sulung dari tiga bersaudara. Ayahnya bekerja sebagai petani sekaligus buruh serabutan, sementara ibunya adalah ibu rumah tangga. Dengan penghasilan keluarga tak lebih dari Rp500 ribu per bulan, kedua orang tuanya tetap berkomitmen menyekolahkan anak-anak mereka setinggi mungkin.
“Motivasi terbesar saya adalah bapak dan mamak. Meskipun mereka hanya lulusan SD dan hidup dalam keterbatasan, mereka tidak pernah menyerah memperjuangkan pendidikan anak-anaknya. Saya ingin menjadi sarjana pertama di keluarga,” ungkap Lala saat diwawancarai di kampus Unusa.
Sejak jenjang SMP hingga SMA, Lala bersekolah di Labuan Bajo karena akses sekolah di kampungnya terbatas. Selama itu, ia tinggal bersama kerabat dan setiap hari berjalan kaki sekitar 30 menit ke sekolah.
“Saya tinggal di rumah saudara, karena dari rumah ke sekolah cukup jauh. Setiap hari jalan kaki, tapi itu tidak masalah karena memang harus dijalani,” jelasnya.
Semasa kecil, Lala pernah bercita-cita menjadi dokter. Namun, saat memasuki SMP, ia mulai menyesuaikan impiannya dengan realita ekonomi keluarga. Cita-citanya pun bergeser menjadi apoteker. Meski telah mencoba Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP), ia belum berhasil diterima di perguruan tinggi negeri.
“Sempat down setelah gagal SNBP. Tapi saya tidak mau menyerah. Saya mulai mencari informasi tentang beasiswa dan universitas lain,” ujarnya.
Setelah mendapat informasi dari kakaknya, Lala mengetahui bahwa biaya kuliah farmasi cukup tinggi. Dalam pencariannya, ia menemukan Unusa yang membuka pendaftaran dengan jalur beasiswa KIP-K.
Meski sempat ragu karena kampus ini berbasis Nahdlatul Ulama dan mayoritas mahasiswanya muslim, Lala tetap mencoba mendaftar. Ia bahkan sempat menerima komentar meremehkan dari orang sekitar.
“Beberapa orang bilang saya tidak akan diterima karena berbeda agama. Tapi saya buktikan bahwa semua itu salah. Unusa terbuka untuk siapa pun yang mau belajar,” tegas Lala.
Proses pendaftaran pun tidak berjalan mulus. Ia sempat mendaftar ke jurusan Kebidanan dan Keperawatan, namun tidak memenuhi persyaratan tinggi badan. Setelah berkonsultasi, ia diberi pilihan antara program studi Analis Kesehatan dan Gizi.
“Awalnya kecewa karena tidak sesuai cita-cita. Tapi bapak saya bilang, ambil saja Gizi. Yang penting kuliah. Akhirnya saya ikut saran orang tua, dan bersyukur bisa diterima di Unusa,” katanya.
Kini, Lala bertekad menyelesaikan studinya di Unusa dan menjadi kebanggaan keluarga. Ia berharap bisa menginspirasi adik-adiknya dan anak-anak di kampung halamannya agar tidak takut bermimpi.
“Jangan menyerah. Gunakan setiap bantuan dan kesempatan dengan baik. Kita tidak tahu seberapa besar perjuangan orang tua agar kita bisa sekolah,” pungkasnya haru.