telusur.co.id -Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa) terus menunjukkan komitmennya dalam membuka akses pendidikan tinggi bagi seluruh lapisan masyarakat. Tahun ini, untuk pertama kalinya, Unusa mendapatkan kuota Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-K) khusus untuk Fakultas Kedokteran, dengan total 5 mahasiswa baru yang berhasil menerima beasiswa penuh dari pemerintah tersebut.
Program beasiswa ini diberikan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) kepada pelajar berprestasi dari keluarga kurang mampu secara ekonomi. Rektor Unusa, Prof. Ir. Achmad Jazidie, M.Eng., menyatakan bahwa kuota KIP-K setiap perguruan tinggi memang berbeda-beda dan ditentukan langsung oleh kementerian.
“Ini menjadi kebanggaan tersendiri bagi kami karena bisa memberikan akses pendidikan kedokteran — yang notabene memerlukan biaya besar — kepada anak-anak bangsa yang berprestasi namun memiliki keterbatasan ekonomi,” ujar Prof. Jazidie.
Salah satu penerima KIP-K, Putri Yanti asal Muara Enim, Sumatera Selatan, mengaku harus menunggu dua tahun sebelum akhirnya bisa meraih impiannya berkuliah di Fakultas Kedokteran Unusa. Lulusan tahun 2023 ini sempat gagal di berbagai jalur pendaftaran, baik seleksi nasional maupun mandiri.
“Saya sempat merasa sangat terpuruk. Sudah belajar keras, ikut berbagai seleksi, tetap tidak lolos. Bahkan sempat bekerja dulu untuk bantu kebutuhan keluarga,” ujar Putri dengan mata berkaca-kaca.
Pada 2024, ia memutuskan berhenti bekerja demi fokus mengejar Seleksi Nasional Berdasarkan Tes (SNBT). Namun, lagi-lagi belum berhasil. Hingga akhirnya ia menemukan informasi tentang program KIP-K di Unusa.
“Alhamdulillah akhirnya lolos. Dari kecil saya punya mimpi jadi dokter kandungan. Beasiswa ini seperti harapan baru bagi saya, ibu, dan adik saya,” imbuhnya.
Cerita serupa datang dari Anjhely Andreani, mahasiswi asal Prabumulih, Sumatera Selatan, yang terdorong untuk menjadi dokter karena keterbatasan tenaga kesehatan di desanya.
“Di kecamatan saya yang jumlah penduduknya ribuan, hanya ada satu dokter. Bahkan bidan pun hanya dua orang untuk satu desa. Ini yang membuat saya ingin kembali dan mengabdi di kampung halaman,” jelas Anjhely.
Sejak kecil, Anjhely hidup tanpa kehadiran ayah setelah kedua orang tuanya berpisah. Ia mengakui sempat merasa tidak mampu melanjutkan kuliah, namun semangat teman-temannya di sekolah membuatnya bangkit kembali.
“Sebagai anak pertama, saya merasa punya tanggung jawab membawa keluarga saya ke kehidupan yang lebih baik. Ini jadi motivasi terbesar saya,” katanya.
Sementara itu, Zahrotul Aini dari Situbondo, Jawa Timur, juga memiliki motivasi pribadi yang kuat. Ia ingin menjadi dokter agar bisa merawat ibunya yang didiagnosis menderita hiperglikemia sejak tahun lalu.
“Ayah saya selalu memberi semangat bahwa saya bisa kuliah, meski kami tahu biaya kedokteran sangat besar. Saat ibu saya sakit, tekad saya untuk jadi dokter semakin kuat,” ungkap Zahrotul.
Pendidikan Kedokteran Sebagai Bentuk Kepedulian Sosial
Para mahasiswa ini tidak hanya memandang profesi dokter sebagai pekerjaan, melainkan sebagai panggilan kemanusiaan. Mereka ingin menjadi tenaga medis yang tidak hanya menyembuhkan secara fisik, tapi juga hadir secara emosional bagi masyarakat.
“Bagi saya, jadi dokter bukan hanya soal menyelamatkan nyawa. Tapi juga tentang mendengarkan keluhan pasien, memahami latar belakang mereka, dan memberi harapan,” tutup Zahrotul.
Melalui pemberian beasiswa KIP-K ini, Unusa menegaskan perannya sebagai perguruan tinggi yang inklusif, berorientasi sosial, dan berkomitmen menghadirkan dokter-dokter masa depan yang tidak hanya cerdas, tapi juga memiliki empati tinggi terhadap sesama.