telusur.co.id - Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Indonesia menegaskan, kasus yang terjadi di Pulau Rempang Batam, akan terus berulang jika pemerintah dan DPR tidak segera mengesahkan RUU Hukum Adat, karena dalam RUU itu memuat adanya perlindungan masyarakat adat, kaum wanita, anak-anak dan lingkungan diluar kawasan pembangunan yang dibangun oleh investor maupun pemerintah daerah dan pusat.
Pulau Rempang dalam pengakuan masyarakat sudah didiami sejak tahun 1843 atau jauh sebelum Indonesia mereka tahun 1945. Tiba-tiba ada sejumlah petugas ingin mematok tanah-tanah yang sudah puluhan tahun dihuni itu untuk dijadikan pengembangan proyek BP Bbatam beserta PT MEG/Makmur Elok Graha. Dalam UU Agraria disebutkan, hubungan tanah dengan manusia bersifat abadi, karena itu tanah tidak dapat dipisahkan meskipun terjadi kematian, kata Prof. Dr Dominikus Rato, Wakil ketua APHA Indonesia, usai bertemu dengan Ketua Watimpres Jenderl TNI (Pur) Wiranto, di komplel Istana di Jakarta, Rabu.
Negara sering kurang memahami masalah tersebut sehingga dalam menciptakan investasi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi sering mengabaikan hak-hak tanah adat, hak masyarakat adat sehingga menimbulkan bentrok diantara dua belah pihak. Saya meneliti baik di perbatasan NTT dengan Timor Leste, Kalimantan Utara dengan Malaysai dan konflik ditempat lain seperti di Jawa Tengah, Suku Samin (Sedulur Sikep) dengan pabrik Semen Indonesia, dan Suku Badui, dan masyarakat Ternate dengan TNI. Semua konflik terjadi lantaran kurangnya kominikasasi dengan masyarakat adat, sementara para investor atau pihak lain, pokoknya investasi harus jalan, jangan sampai ada yang menghalangi.
Negara seolah tidak hadir atau Pemerintah justru terkesan memihak investor lantaran kurang faham terhadap posisi hak ulayat atau mungkin mengerti tetapi karena memihak kepada para investor sehingga seolah-olah tidak tahu bahwa masyarakat adat juga perlu dilindingi.
APHA menghadap Dewan Pertimbangan Presiden Jenderal TNI (Pur). Wiranto, dipimpin Ketua Umum APHA Dr. Laksanto Utomo, dan Ketua Pelaksana Dr Kunti Tridewiyanti, Dr. Leny Nadriyana, Dr. Rina Yulianti Univ Trunojoyo, Dr. Ummu Salamah, Univ Unas, Dr. Nam Rungkel dari Univ Khairun dan Dr. Yusuf Muh Said dari IBLAM Jakarta.
Menurut Prof Dr. Rato, hak kepemilikan tanah bagi masyarakat adat sama dengan ibu pertiwi yang melahirkan dan tempat ia dikuburkan. Oleh karenanya, jika tanah mereka diusik, maka hati mereka terusik sama dengan kalau ibu kandungnya diganggu oleh orang lain. Oleh karenanya, para pembuat UUD sadar untuk melindungi mereka melalui Pasal 18 B ayat 2. bahwa hak-hak adat dan komunitasnya harus tetap dilindungi oleh Undang-undang.
Sementara Ketua Umum APHA Dr. Laksanto menambahkan, kedatangannya itu setelah APHA melakukan audensi kepada semua pihak termasuk seminar internasonal tentang mandegnya RUU Hukum Adat yang dibuka oleh Ketua MPR Dr. Bambang Susatyo, dan keynote speak, Menko Polhukam Prof. Dr. Mahfud MD.
“Pengalaman saya melaporkan sesuatu kepada Pak Wiranto, mendapat respon dan hasilnya cepat. Saat saya sebagai Ketua APPTHI, melapor kepada bapak soal maraknya Korupsi, Pak Wiranto langsung membuat Saber Pungli. Saat ini APHA melapor terkait belum disahkannya RUU Hukum Masyarakat adat atau sudah lebih 18 tahun berada di meja DPR, belum juga disahkan. Mudah-mudahan setelah APHA bertemu Bapak RUU adat segera disahkan sebelum Pemilu tahun ini,” kata Dr. Laksanto.
Sementara itu, Ketua Pelaksana Kunti Tridewiyanti menyampaikan, hasil dari seminar internasional yang dibuka oleh Ketua MPR itu antara lain menghasilkan kesimpulan, Secara konstitusional pengakuan atas keberadaan masyarakat hukum adat dijamin di dalam pasal 18 B ayat 2 UUD RI 1945. Keberadaan masyarakat adat tak lepas dari masyarakat dan bangsa Indonesia. Oleh sebab itu hak-hak konstitusionalnya harus tetap terjamin dan terlindungi.
Namun fakta dilapngan menunjukan berbagai kasus yang terjadi terhadap masyarakat adat sangat memprihatinkan dan tidak adil, pengabaian negara terhadap masyarakat adat dan hak-hak tradisionalnya jelas terlihat dari penyelesaian konflik yang terjadi antara lain masyakarat adat pantai raja, kabupaten Kampar Riau dengan PT Perkebunan Nusnatara PTPN V. dan konflik antara masyarakat adat sedulur Sikep dengan PT SMS di kabupaten Pati Jawa Tengah. Hal ini menunjukkan lemahnya posisi masyakarkat adat terutama ketika berhadapan dengan Negara dan Korporasi.
Oleh karenanya tak ada jalan lain kecuali Pemerintah dan DPR sebagai pembuat konstitusi untuk segera mengesahkan RUU Hukum adat sebelum Pemilu tahun 2024 atau sebelum Pilpres kanena sulit diharapkan anggota DPR baru nanti melakukan pembahasan apa lagi pengesahan terhadap RUU yang sudah puluhan tahun berada di DPR itu, kata Kunti.
Sementra itu Jenderal TNI (Pur) Wiranto berjanji akan segera menyampaikan pertimbangannya kepada Presiden joko Widodo untuk segera mengesahkan RUU Hukum Adat sebelum Pemilu tahun 2024. "Saya akan sampaikan pertimbangannya agar RUU segera disahkan, karena kalau nunggu DPR yang akan datang akan tambah sulit, karena akan melihat pertimbangan awal lagi dan dengan begitu akan tambah lama lagi," katanya, seraya menegaskan, mudah-mudahan presiden segera mereson karena tak ada alasan untuk tidak mengesahkan.(Fie)