Bisnis Jasa Titip dalam Sudut Pandang Kepabeanan - Telusur

Bisnis Jasa Titip dalam Sudut Pandang Kepabeanan


Telusur.co.id -PenulisNasywa Salsabila, Mahasiswi Jurusan Ilmu Administrasi Fiskal, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia. 

Dewasa ini, jasa titip menjadi model bisnis yang digemari oleh masyarakat. Berbekal kemudahan akses internet dan luasnya relasi media sosial, tidak butuh waktu yang lama untuk mengumpulkan konsumen jastip. Jasa titip atau personal shopper merupakan jenis bisnis yang memberikan layanan kepada orang-orang yang ingin membeli sesuatu tetapi tidak bisa membeli sendiri karena alasan tertentu. Biasanya, layanan informal jastip ini digunakan untuk membeli barang-barang yang langka, tidak tersedia di dalam negeri, atau tersedia di luar negeri dengan harga yang lebih murah. 

Skema jastip pada awalnya hanya sebatas layanan untuk membeli barang-barang di tingkat lokal, namun sejalan dengan berkembangnya waktu yang memengaruhi selera dan konsumsi masyarakat, jastip juga merambah hingga ke produk dan barang-barang luar negeri. 

Perlakuan Barang Jastip dari Luar Negeri Menurut Kebijakan Kepabeanan Ketika barang-barang dari luar daerah Pabean memasuki daerah Pabean, maka akan diperlakukan sebagai barang impor dan dikenai bea masuk berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan. Kemudian, berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 203 Tahun 2017 tentang Ketentuan Ekspor Dan Impor Barang Yang Dibawa Oleh Penumpang Dan Awak Sarana Pengangkut, barang-barang yang dibawa oleh penumpang dan awak sarana pengangkut terbagi menjadi dua, yaitu barang personal use dan non personal use. Barang personal use merupakan barang yang pribadi yang digunakan oleh penumpang/awak sarana pengangkut dan bersifat wajar, sedangkan barang non personal use merupakan barang yang dibawa selain untuk keperluan pribadi.

Barang personal use milik penumpang yang nilainya tidak lebih dari USD 500 akan diberikan pembebasan bea masuk, sedangkan barang non personal use tetap dikenakan bea masuk dan dipungut Pajak Dalam Rangka Impor (PDRI) 

Barang jastip dari luar negeri yang dibawa oleh penyedia jasa titip sebagai penumpang sarana pengangkut tentunya tergolong ke dalam jenis barang non personal use yang tidak mendapatkan pembebasan bea masuk. Namun pada faktanya, para penyedia layanan jastip seringkali memanfaatkan fasilitas pembebasan bea masuk dengan menjadikan barang jastip seolah-olah merupakan barang personal use. Selain itu, terdapat metode splitting, yaitu trik menyebarkan barang-barang jastip kepada orang yang berbeda dalam satu rombongan untuk memperoleh nilai barang kurang dari USD 500 per orang. Dengan begitu, barang jastip dapat dengan bebas masuk ke dalam negeri tanpa dikenakan bea masuk dan PDRI karena ‘dianggap’ sebagai barang personal use yang bernilai tidak lebih dari USD 500. 

Bisnis Jastip vs Usaha Dalam Negeri 

Kondisi ini tentunya merugikan negara dari aspek penerimaan pajak dan kepabeanan karena barang yang seharusnya dipungut bea masuk dan PDRI sesuai ketentuan yang berlaku tetapi tidak dipungut sama sekali. Karena tidak menimbulkan pungutan apapun, barang jastip dari luar negeri biasanya memiliki harga yang lebih murah, sehingga menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat dalam negeri. Namun, kondisi ini justru menjadi ancaman bagi barang-barang dalam negeri dan menciptakan persaingan usaha yang tidak sehat dengan pengusaha lokal yang taat pajak. Kondisi yang menunjukkan ketidakberpihakan masyarakat dalam mendukung produk dalam negeri ini apabila dibiarkan terus menerus dapat menyebabkan kemunduran inovasi produk dalam negeri karena minimnya dukungan dan permintaan domestik. 

Bea Cukai Dalam Menindak Barang Jastip 

Bea Cukai memiliki empat peranan utama, yaitu industrial assistance, trade facilitator, community protector, dan revenue collector. Dalam kasus jastip ini, peran yang harus ditegaskan oleh Bea Cukai adalah community protector, yaitu melindungi pasar dan masyarakat dari peredaran barang-barang jastip yang dikategorikan berasal dari kegiatan ilegal. Perlu diketahui bahwa barang-barang jastip luar negeri yang bebas beredar dalam negeri, khususnya seperti kosmetik dan makanan belum mendapatkan izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan, sehingga tidak menutup kemungkinan jika komposisi yang terkandung di dalamnya tergolong berbahaya bagi kesehatan. Selain itu, barang-barang yang berasal dari luar negeri juga harus dipastikan bersertifikat halal, mengingat mayoritas masyarakat Indonesia adalah penganut agama Islam. Dalam kondisi ini, barang jastip tidak hanya mengancam perekonomian dalam negeri, tapi juga bisa berdampak pada sektor kesehatan apabila beredar dengan bebas tanpa izin edar BPOM atau sertifikasi halal sesuai ketentuan yang berlaku. 

Bea Cukai sebenarnya sudah menegakkan perannya sebagai community protector atas barang-barang dari layanan jasa titip dengan mengenakan bea masuk dan PDRI untuk barang-barang penumpang kategori non personal use. Namun, karena adanya celah yang dimanfaatkan oleh berbagai pihak untuk menghindari pungutan ini, maka barang-barang jastip tersebut bisa lolos dengan mudahnya sebagai barang personal use. Hal ini menunjukkan bahwa Direktorat Jenderal Bea Cukai harus semakin menegaskan perlakuan pada barang dari jasa titip. Mengingat masifnya bisnis jastip ini, sudah saatnya bagi pemerintah untuk mengatur kebijakan khusus untuk bisnis jasa titip. Pemerintah bisa memulai dengan mengkategorikan bisnis jastip sebagai salah satu jenis usaha atau kegiatan rutin yang dikenakan pungutan seperti pajak dan bea cukai. 

Walaupun sebenarnya barang-barang jasa titip sudah diatur secara implisit di dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b PMK 203/2017 sebagai barang non personal use, tapi pemerintah harus mulai memikirkan rencana untuk mengatur kebijakan atas jasa titip sebagai suatu jenis usaha yang pelaksanaan dan pemungutannya diatur dengan jelas. Peraturan terkait jastip harus dibuat untuk mengurangi atau menutup kemungkinan adanya celah yang dimanfaatkan oknum-oknum tertentu agar tidak membayar bea masuk. 

Lalu, dalam merumuskan ketentuan terkait jasa titip, pemerintah dapat mempertimbangkan pengenaan bea masuk hanya untuk barang-barang yang hendak diperjualbelikan atau barang komersial, sedangkan barang-barang yang sifatnya titipan untuk keluarga atau non komersial bisa dipertimbangkan untuk diberikan pembebasan atau keringanan. Pemerintah juga bisa mempertimbangkan pengkategorian penyedia layanan jasa titip untuk menentukan pungutan apa saja yang akan dibebankan atas aktivitas usahanya. Untuk penyedia layanan jastip yang bergerak sebagai bisnis atau usaha rutin dapat dikenakan pajak dan bea masuk, sedangkan untuk penyedia layanan jastip yang hanya bepergian dan membuka layanannya sesekali bisa diberikan pembebasan atau keringanan. Dengan ini, bisnis jasa titip di Indonesia bisa menjadi bisnis legal dan bersaing adil dengan pelaku usaha dalam negeri. Perumusan kebijakan yang memperhatikan kondisi dan kebutuhan masyarakat secara spesifik dapat membantu mengurangi pandangan negatif terhadap pemungutan bea cukai. Langkah ini juga dapat menghilangkan stigma bahwa pemungutan bea cukai hanya membebani masyarakat, karena kebijakan yang adil dan adaptif akan mencerminkan kepekaan pemerintah terhadap berbagai sektor kehidupan masyarakat.

 


Tinggalkan Komentar