Calon Tunggal: Kanalisasi Suara dan Potret Diri - Telusur

Calon Tunggal: Kanalisasi Suara dan Potret Diri

Guru Besar Fisipol Unesa, Prof. Dr. Warsono, M.S.

telusur.co.idOleh : Prof. Dr. Warsono, M.S.
 
Fenomena pasangan calon tunggal dalam Pilakda 2024 menjadi menarik untuk dikaji, bukan karena jumlahnya yang meningkat, tetapi juga dari terbatasnya pilihan calon pemimpin yang bisa dipilih oleh rakyat, serta dampaknya terhadap calon itu sendiri. 

Pada pilkada tahun 2020, jumlah paslon tunggal hanya ada 25 daerah Pada pilkada tahun 2024 masih ada 41 daerah yang diikuti oleh paslon tunggal, setelah dilakukan perpanjangan waktu.

Yang menarik mengapa partai politik yang diberi kewenangan untuk mengusung paslon Gubernur, Bupati dan Walikota tidak  mengusulkan calon sendiri baik dari internal kadernya sendiri atau colon lain yang memperoleh dukungan rakyat. 

Padahal salah satu “kontrak” partai politik terhadap rakyat adalah menyiapkan calon-calon  pemimpin, setelah memperoleh suara rakyat dalam pemilu. Hal ini sejalan dengan tugas partai politik yang salah satunya adalah melakukan kaderisasi, guna menyiapkan calon pemimpin mulai dari tingkat nasional sampai ke daerah.

Di sisi lain, rakyat berharap setiap partai politik  menydiakan calon pemimpin terbaik yang  dilahirkan dari proses kaderisasi yang baik. Sementara rakyat sebagai pemegang kedaulatan negara telah “menyediakan” kursi jabatan mulai dari presiden sampai ke Gubernur, Bupati dan Walikota. 

Ada semacam pertukaran, jika merujuk kepada  teori pertukaaran (exchange theory) antara rakyat dengan partai politik. Rakyat menyyediankan jabatan sedangkan partai politik menyediakan calon pemimpin yang akan menduduki “kursi” yang disediakan rakyat.

Proses pertukaran tersebut diawali  saat partai-partai politik berkampanye sebelum pemilu maupun pilkada. Pada pemilihan legislatif, setiap partai politik menyiapkan banyak calon yang ditawarkan kepada rakyat untuk dipilih. Mereka berasal dari internal partai, setidaknya merupakan anggota partai. 

Sehingga rakyat memiliki banyak pilihan yang memungkinkan rakyat bisa memilih yang terbaik atau menghindari yang terjelek. Namun hal ini tidak terjadi pada pemilu presiden maupun kepala daerah, karena tidak semua partai menyiapkan kadernya untuk ditawarkan dan dipilih oleh rakyat.

Kanalisasi suara

Pada pemilihan presiden maupun kepala daerah pilihan rakyat dikanalisasi  kedalam ruang yang sempit. Rakyat tidak lagi memiliki pilihan sesuai dengan yang diharapkan. Rakyat “dipaksa” memilih calon pemimpin yang bukan dari partai politik  yang dipilih, karena tidak semua partai mengusung paslon. Padahal ketika rakyat memilih kepada partai tertentu, salah satu harapannya adalah juga memilih calon presiden dan kepala daerah yang berasal dari partai tersebut.

Jika pada pemilu presiden 2024, rakyat masih diberi tiga pasangan calon, maka dalam pilkada rakyat semakin dibatasi pilihannya. Dari data di KPU dari 37 propinsi, ada 17 daerah yang pilkadanya hanya diikuti oleh dua paslon, dan satu propinsi dikuti oleh satu paslon. 

Partai politik lebih memilih bergabung untuk mendukung calon dari partai lain yang diyakini akan menang dalam pilkada, tanpa memperhatikan aspirasi rakyat
Kecenderungan partai politik tidak mengusung paslon dalam pilkada merupakan wujud pragmatime politik yang hanya berorientasi kepada kepentingan partai, bukan kepentingan rakyat. 

Bahkan ketika putusan Makamah Konstitusi  nomor 60 Tahun 2024 yang memberi kesempatan kepada partai politik untuk mencalonkan kadernya dengan melonggarkan ambang batas pencalonan kepala daerah juga tidak dimanfaatkan untuk mengusung calon sendiri. Akibatnya, harapan rakyat bisa memilih pemimpin sesuai dengan aspirasinya, menjadi pupus.

Fenomena paslon tugngal di berbagai daerah merupakan bentuk pembegalan suara rakyat. Rakyat yang telah mempercayakan dan menaruh harapan kepada partai politik untuk menyediakan calon pemimpin diabaikan begitu saja. 

Memang berdasarkan undang undang rakyat boleh mengusung calon idependen yang tidak melalui partai politik. Tetapi untuk bisa mengusulkan calon independent dibutuhkan usaha yang tidak ringan, karena calon harus menggalang dukungan secara mandiri.

Meskipun dalam pilkada 2024 hanya ada 51 pasangan calon independen, sebenarnya  menunjukan ketidakseriusan partai politik dalam menyalurkan aspirasi rakyat. Dalam pemilu 2024  ada 24 partai politik yang memiliki kewenangan untuk mencalonkan pasangan calon, secara mandiri maupun gabungan. 

Jika partai politik serius memperjuangkan aspirasi rakyat, mereka bisa menyediakan paslon kepala daerah lebih dari tiga atau empat pasangan calon. Jika partai politik tidak atau belum memiliki kader sendiri, mereka bisa mengusung orang-orang yang telah memperoleh dukungan dan diharapkan oleh  rakyat. Dengan demikian, pasangan calon dari jalur independent bisa diperkecil.  

Melawan potret sendiri

Sesuai dengan undang undang pemilu, paslon tunggal tidak atomatis menjadi pemenang. ia akan dilawankan dengan kotak (bumbung) kosong. Dalam Pilkada tahun 2018 di Makassar, paslon tunggal dikalahkan oleh kotak kosong. 

Sebenarnya bagi paslon tunggal melawan kotak kosong jauh lebih berat persaingannya, karena sebenarnya mereka akan melawan dirinya sendiri, dalam hal ini adalah dari sisi buruknya. Setiap calon pasti memiliki kelebihanan dan kekurangan, keberhasilan dan kegagalan. Sekalipun paslon tersebut berasal dari incumbent tentu memiliki  kegagalan dan sisi buruk di mata rakyat.  

Paslon tunggal akan melawan potret dirinya sendiri menurut persepsi pemilih, baik dari sisi baik maupun dari sisi buruk. Berbeda dengan daerah yang paslonnya lebih dari satu, para pemilih akan membandingkan antar paslon, sehingga jelas siapa pembanding (lawan) yang dihadapi.

Sedangan bagi paslon tunggal, mereka akan melawan sisi buruknya sendiri. Bahkan sisi buruk yang dilihat bukan dari dari kegalannya dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat, tetapi juga dilihat dari sikap, perilaku, ucapan, termasuk gaya hidup keluarganya. 

Bagi para pendukungnya tentu akan melihat dari sisi baiknya, tetapi bagi yang  menginginkan calon lain tentu akan melihat sisi buruknya, bukan hanya dari dirinya tetapi juga keluarganya.

Jika ada pepatah bahwa pemimpin yang hebat karena ada wanita (istri) yang hebat, maka tidak mustahil bahwa kejatuhan seorang pemimpin juga bisa disebabkan oleh sikap, perilaku dan gaya hidup istri dan keluarganya. 

Sejarah telah mencatat adanya kejatuhan pemimpin karena potret buruk keluarganya. Louis XVI Raja Perancis diturunkan dari jabatan karena gaya hidup istrinya. Ferdinan Marcos presiden Pilipina, digulingkan rakyat karena gaya hidup istri dan keluarganya.

*Penulis adalah Ketua Dewan Pendidikan Provinsi Jawa Timur periode 2022-2026, Ketua II Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (PP ISPI) periode 2014-2019, dan Rektor Universitas Negeri Surabaya (Unesa) periode 2014-2018, Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unesa, dan Ketua Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial (HIPIIS) Cabang Jawa Timur.


Tinggalkan Komentar