telusur.co.id -Ombudsman RI menyarankan Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan untuk meningkatkan kemampuan petugas dalam melakukan pemprofilan pemohon paspor, khususnya dalam melakukan verifikasi keabsahan data dengan hasil wawancara, guna mencegah tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
Anggota Ombudsman Johanes Widijantoro menjelaskan, dalam kajian sistemik Ombudsman terkait pelaksanaan pencegahan TPPO, terdapat temuan masih banyaknya korban yang bisa dicegah keberangkatannya melalui proses pengawasan keimigrasian.
"Hal ini menggambarkan masih perlu dilakukan penguatan dalam proses pengawasan keimigrasian, khususnya proses verifikasi dan wawancara, serta pemeriksaan di Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI)," ujar Johanes dalam keterangannya, Senin (2/12/24).
Selain itu, ia juga mengatakan terdapat permasalahan berupa mudahnya praktik pemalsuan identitas dan dokumen calon pekerja migran atau warga Indonesia lainnya yang berpotensi TPPO, meskipun sudah diberlakukan Kartu Tanda Penduduk (KTP) elektronik.
Ia mengatakan, berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa korban TPPO, saat para korban akan berangkat ke negara penempatan, mereka tidak pernah terlibat dan tidak mengurus sendiri dokumen-dokumen yang dibutuhkan untuk ke luar negeri karena semua dokumen, termasuk paspor, diurus oleh agen yang merekrut.
Maka dari itu, Ombudsman meminta Kementerian Imipas bisa memaksimalkan Sistem Informasi Manajemen Keimigrasian yang memuat daftar warga negara Indonesia dan pekerja migran Indonesia nonprosedural yang pernah masuk daftar pencegahan.
Johanes menambahkan, Kementerian Imipas juga harus meningkatkan pengawasan internal kepada pegawai kantor imigrasi guna mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang dalam pemeriksaan dokumen keimigrasian maupun pemeriksaan di TPI, khususnya di wilayah kantong PMI.
"Ombudsman meminta saran perbaikan dalam hasil kajian ini dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya sebagai bentuk pelayanan publik kepada masyarakat yang profesional, berkeadilan, dan berkepastian hukum," tuturnya.
Berbagai temuan terkait keimigrasian tersebut tercatat dalam aspek pengawasan yang ditemukan dalam kajian pencegahan TPPO.
Selain aspek pengawasan, Ombudsman turut menyoroti aspek sosialisasi dan edukasi, peningkatan koordinasi dan kerja sama, serta regulasi dalam upaya pencegahan TPPO.
Pada aspek sosialisasi dan edukasi, sambung dia, terdapat temuan belum semua daerah memiliki Rencana Aksi Daerah Pencegahan dan Penanganan TPPO, tidak adanya anggaran yang dimiliki oleh daerah untuk Gugus Tugas TPPO, khususnya anggaran terkait kegiatan sosialisasi, belum seragamnya kelompok sasaran sosialisasi TPPO karena belum adanya perencanaan rinci dalam RAD TPPO, dan kurangnya koordinasi antarorganisasi perangkat daerah (OPD).
Ombudsman, menurut dia, juga menyoroti belum terlaksananya sinergi antara pemerintah daerah dengan lembaga penegak hukum dalam melakukan upaya pencegahan TPPO.
Sementara terkait regulasi, Johanes mengatakan secara konseptual, regulasi mengenai pencegahan TPPO bertujuan untuk memastikan arah kebijakan pemerintah dalam memutus rantai TPPO.
Namun, lanjut dia, pengaturan dan kebijakan yang ada saat ini masih belum mampu menekan kasus TPPO karena keberadaan gugus tugas dalam bentuk lembaga koordinatif tidak cukup efektif untuk memberantas atau setidaknya meminimalisir terjadinya kasus perdagangan orang yang terjadi di Indonesia.
Ombudsman lantas memberikan saran perbaikan terhadap pelaksanaan pencegahan TPPO yang dilakukan oleh Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO.
Dia menjelaskan, hal yang melatarbelakangi kajian tersebut, yakni jumlah korban TPPO yang terus meningkat setiap tahunnya dengan beragam modus operandi dan korban yang berasal dari berbagai kelas ekonomi dan pendidikan serta meluasnya jaringan kejahatan yang terorganisasi dan tidak terorganisasi, baik bersifat antarnegara maupun dalam negeri.
Dalam kajian tersebut, Ombudsman melakukan pengumpulan informasi dan data di beberapa wilayah, yaitu Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, Sumatera Bara, dan Kepulauan Riau.
Pengumpulan data dan informasi juga melibatkan instansi pusat, organisasi nonpemerintah, serta korban TPPO.
Pada hasil kajian, Johanes menyampaikan terdapat beberapa modus TPPO, yakni eksploitasi seksual, eksploitasi anak buah kapal, eksploitasi pekerja migran, pemagangan, pengantin pesanan yakni tawaran menikah dengan orang asing dan dijanjikan kehidupan mapan di negara asal calon suami, eksploitasi anak, serta eksploitasi transplantasi organ tubuh.[Fhr]