Oleh: Bambang Soesatyo (Ketua MPR RI/Dosen Pascasarjana Fakultas Hukum Borobudur, Universitas Trisakti, Universitas Jayabaya dan Universitas Pertahanan RI (UNHAN)
MASYARAKAT hanya bisa prihatin dan mengeluh ketika melihat dan merasakan semakin tumpulnya pisau penegakan hukum yang nyata-nyata berakibat pada menurunnya derajat ketertiban umum. Rasa keadilan pun terusik, karena beberapa komunitas merasa tidak terlindungi sebagai akibat dari sistem hukum yang tidak bekerja dan berfungsi dengan efektif.
Kekacauan yang menjadi bukti semakin tumpulnya pisau hukum Indonesia begitu nyata akhir-akhir ini, ketika masyarakat disuguhi atau harus menyaksikan adanya institusi penegak hukum menunjukan rivalitas mereka di ruang publik dengan aksi-aksi nyata yang sangat mengecewakan dan memprihatinkan. Lebih dari itu, buramnya wajah hukum negara-bangsa ini pun sempat diselingi dengan tindakan penerapan hukum yang hanya sesuai dengan kacamata hukum dan interprestasinya saja.
Publik melihat dan tahu bahwa korupsi makin marak. Namun, hanya satu-dua kasus korupsi yang direspons dengan penuh kesungguhan oleh sistem hukum. Sebaliknya, sejumlah kasus korupsi lainnya ditanggapi dengan perilaku minimalis oleh sistem yang sama. Wajar jika banyak komunitas menilai adanya tebang pilih oleh pelaksana sistem hukum dalam merespons beberapa kasus yang menjadi sorotan publik.
Destruksi penegakan hukum pun bahkan tak jarang dilakukan oleh oknum. Misalnya, merekayasa konstruksi kasus dengan menjadikan orang tak bersalah sebagai pelaku dan menjadikannya tersangka. Pada kasus kematian Vina di Cirebon, misalnya, masyarakat hingga hari-hari ini terus disuguhi cerita tentang rekayasa pelaku pembunuhan.
Pada level akar rumput, tindak pidana yang menargetkan warga pun begitu marak. Dari maraknya kasus begal di jalan, parkir liar dan pungutan liar (Pungli), teror dan intimidasi terhadap ribuan nasabah pijaman daring atau Pinjol (pinjaman online). Hampir setiap hari ada saja warga di berbagai kota menjadi korban begal. Warga dari berbagai komunintas terus menjadi korban pungutan liar, misalnya komunitas pedagang kaki lima, komunitas angkutan umum hingga komunitas supir truk angkutan barang.
Tak tahan menerima ketidakadikan perlakuan dari oknum petugas di jalan raya, Jumat siang, 14 Juni 2024 lalu, ratusan supir angkutan barang yang tergabung dalam Rumah Berdaya Pengemudi Indonesia (RBPI) menggelar aksi di depan kantor Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Bekasi. Terbentang pesan dari komunitas supir yang sangat menyayat hati; “Uang Rokokmu adalah Uang Makan Bagiku dan Keluargaku”.
Nasabah Pinjol yang menjadi korban teror dan intimidasi debt collector menjadi bukti lain tentang komunitas yang tak terlindungi oleh sistem hukum. Jumlah kasusnya tidak sedikit. Sebuah laporan pernah mencatat, ada 39.866 pengaduan korban pinjol illegal selama periode Januari 2022 – januari 2024. Pada awal 2023 misalnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat bahwa korban Pinjol paling banyak adalah komunitas guru (42 persen), korban pemutusan hubungan Kerja (21 persen), ibu rumah tangga 18 persen, karyawan 9 persen. Korban lainnya adalah komunitas pedagang, pelajar, hingga pengemudi ojek online.
Seorang pakar perencana keuangan bahkan mengungkap bahwa sebagian dari komunitas milenial dan Gen-Z pun terjerat Pinjol dan investasi bodong. OJK pun mencatat, sekitar 30 persen sampai 40 persen korban investasi bodong adalah milenial dan Gen-Z. Fakta ini menjadi bukti lain yang menjelaskan bahwa sistem hukum belum mampu melindungi para nasabah Pinjol ketika debt collector menerapkan teror dan intimidasi saat mengajukan tagihan.
Dari ragam fakta permasalahan yang menyelimuti hidup keseharian masyarakat itu, setidaknya bisa dimunculkan dua kesimpulan; sistem hukumnya belum bekerja dengan efektif atau, sistem hukumnya sudah bekerja tetapi pisau penegakan hukumnya yang tumpul atau ditumpulkan. Dua kesimpulan ini patut dihadapkan pada persepsi publik tentang derajat ketertiban umum akhir-akhir ini. Dari persepsi publik, catatan yang mengemuka adalah kecewa, sarat keluh kesah, hingga merasa tidak terlindungi. Seakan tak berdaya, masyarakat hanya bisa prihatin ketika melihat dan merasakan semakin tumpulnya pisau penegakan hukum.
Rasa keadilan publik yang terusik itu sudah seharusnya ditanggapi dengan penuh kebijaksanaan oleh semua perangkat negara, utamanya institusi-institusi yang diberi kuasa menegakan hukum. Sistem hukum negara sudah pasti baik. Sistem hukum itu menaungi ragam peraturan dan ketentuan yang telah dibuat dan disepakati untuk menata ragam aspek kehidupan masyarakat demi tujuan kebaikan bersama. Tujuan baik itu akan terwujud kalau semua peraturan dan ketentuan dalam sistem hukum itu dipatuhi, dilaksanakan dan memberi sanksi bagi siapa saja yang melanggar peraturan dan ketentuan-ketentuan dimaksud.
Kriminalitas dan bentuk pelanggaran hukum lainnya akan selalu ada dalam dinamika kehidupan bersama. Tetapi, oleh sistem hukum yang bekerja dengan baik dan efektif akan mampu meminimalisir kriminalitas dan ragam pelanggaran hukum lainnya. Kemampuan sistem hukum meminimalisir kriminalitas dan pelanggaran hukum lainnya sangat ditentukan oleh kinerja institusi penegak hukum. Dan, kinerja institusi penegak hukum ditentukan oleh kepatuhan dan ketaatan pada tugas pokok dan fungsinya (Tupoksi). Institusi penegak hukum Ibarat pisau yang harus selalu tajam; tajam ke bawah pun tajam ke atas.
Pisau penegakan hukum sekali-kali tidak boleh tumpul atau ditumpulkan. Ketajaman pisau penegakan hukum sejatinya amat sangat dibutuhkan demi terjaganya ketertiban umum atau kebaikan bersama. Sekali saja pisau penegakan hukum tumpul atau ditumpulkan, buahnya adalah kekacauan dan kerusakan. Pengingkaran terhadap sistem hukum oleh penegak hukum pada gilirannya akan merusak norma-norma sosial.
Ketika norma-norma sosial rusak dan kacau, dia menggambarkan derajat peradaban komunitas itu. Maka, sistem hukum harus dimampukan untuk bekerja memulihkan ketertiban umum. Dan, jangan biarkan pisau hukum Indonesia tumpul atau ditumpulkan.[]