telusur.co.id - Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Heru Purnomo menegaskan, pelajar yang ikut unjuk rasa di depan Gedung DPR RI untuk menolak revisi Undang-Undang No.10/2016 tentang Pilkada (RUU Pilkada), berhak mendapat perlindungan. Pelajar, juga berhak menyampaikan pendapat dan aparat penegak hukum tidak boleh menghalagi atau menangkap para pelajar.
"Pelajar SMA/SMK Miliki Hak Menyampaikan Pendapat Melalui Demonstrasi, mereka berhak mendapatkan perlindungan saat melakukan aksi demo, itu kewajiban aparat, bukan malah dihalangi dan ditangkapi seolah mereka melakukan tindak pidana," ujar Heru dalam keterangannya, Sabtu (24/8/24).
Heru menjelaskan, berdasarkan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), setiap anak berhak mendapatkan perlindungan dari orang tua, keluarga, masyarakat, dan negara. Hak anak adalah HAM dan diakui serta dilindungi oleh hukum.
Sedangkan dalam UU No 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak pada Pasal 15 disebutkan bahwa setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik, pelibatan yang mengandung unsur kekerasan serta terlibat peperangan.
Dalam Pasal 16 ayat menyatakan: (1) bahwa Anak wajib mendapatkan perlindungan dari penyiksaan, penganiayaan dan penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.; ayat (2) Anak juga wajib memperoleh kebebasan ; dan ayat (3) Tentang penangkapan dan penahanan terhadap anak bisa dilakukan asalkan harus sesuai dengan hukum.
Oleh karena itu, tegas Heru, skolah dan dinas-dinas Pendidikan di seluruh Indonesia seharusnya memahami situasi kalau para pelajar yang berada di jenjang SMA/SMK sudah mampu menganalisis kondisi bangsanya dan secara kematangan psikologi. "Para pelajar SMA/SMK sudah mampu mengambil Keputusan atas dirinya, termasuk jika ingin menyampaikan pendapat melalui aksi demo," ucapnya.
Lebih lanjut, ia menerangkan, dalam Pasal 28 UUD 1945 menyatakan bahwa: “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan, dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”.
"Sebagaimana dijamin dalam Konstitusi Republik Indonesia tersebut, pelajar juga berhak mengemukan pendapat dalam bentuk Demonstrasi. Jadi, ketika pelajar yang ikut aksi demo diberi sanksi oleh pihak sekolah, maka hal itu merupakan bentuk pelanggaran UU HAM, UU Perlindungan Anak dan pelanggaran konstitusi," tuturnya.
Menurut dia, jika pelarangan partisipasi politik terhadap para pelajar dengan alasan melindungi keselamatan mereka yang masih usia anak dari kemungkinan cedera atau jadi korban jika terjadi kerusuhan saat aksi demo, maka berikan mereka ruang mengekspresi sikap politiknya di tempat yang aman, yaitu halaman sekolah. Hal ini menjadi bagian dari Pendidikan politik bagi peserta didik.
“Sekolah bisa menfasilitasi peserta didiknya untuk mengemukakan pendapat dengan cara demonstrasi di lingkungan sekolah sebagai bagian dari pendidikan politik yang sehat. Jadi, aksi demo dapat dilakukan di halaman sekolah dengan menyiapkan mimbar berorasi untuk menyampaikan aspirasi. Lalu boleh menyampaikan petisi tertulis kepada Lembaga Lembaga negara, sekolah memfasilitasi penyampaiannya”, kata Ketua Dewan Pakar FSGI, Retno Listyarti.
Untuk itu, FSGI meminta aparat penegak hukum tidak melakukan kekerasan terhadap massa aksi, apalagi jika masih di bawah umur seperti para pelajar.
"Setiap kekerasan dan Tindakan represi aparat merupakan bentuk pelanggaran hukum dan tindak pidana serta melanggar kode etik kepolisian," tegas Retno.
FSGI juga menyerukan aparat penegak hukum untuk melindungi peserta aksi yang masih pelajar sebagaimana dijamin dalam UU Perlindungan Anak. Mengingat, banyak peristiwa penangkapan para pelajar yang sedang menuju lokasi aksi kerap terjadi di setiap aksi demo besar, ketika tertangkap mereka juga mengalami Tindakan yang merendahkan martabat kemanusiaan, seperti di telanjangi dan dijemur.
Pada aksi demo besar tahun 2019, KPAI menerima laporan dari berbagai daerah, dimana ratusan pelajar yang hendak mengikuti aksi demo ditangkap sebelum tiba dilokasi, tak jarang diancam tidak mendapatkan SKCK dan masih mendapatkan sanksi dari pihak sekolah.
Berikutnya, FSGI juga mengingatkan pihak kepolisian untuk bertindak pada massa aksi sesuai dengan peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 jelas disebutkan bahwa pihak kepolisian tidak boleh terpancing, tidak boleh arogan, tidak boleh melakukan kekerasan bahkan di saat situasi kerumunan massa tidak terkendali.
FSGI juga mendesak pemeriksaan para pelajar yang masih usia anak yang ditangkap karena disangkakan melakukan kekerasan pada petugas untuk diperiksa oleh penyidik di Direktorat PPA Polres atau Polda dengan didampingi oleh orangtuanya sebagaimana ketentuan peraturan perundangan yang berlaku.
"FSGI mendesak KPAI dan KPPPA untuk segera turun melakukan pemantauan di lapangan maupun di Kantor-Kantor Kepolisian di bawah Polda Metro Jaya untuk memastikan perlindungan dan penanganan sesuai peraturan perundangan terhadap peserta aksi yang masih usia anak," tukasnya. [Fhr]