Oleh: Bambang Soesatyo (Ketua MPR RI/Ketua Dewan Pembina Perhimpunan Alumni Doktor Ilmu Hukum UNPAD/Dosen Tetap Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Borobudur Jakarta, Universitas Terbuka dan Universitas Perwira Purbalingga)
ATAS nama fakta tentang kodrat kebhinekaan warga bangsa, sistem ketatanegaraan Indonesia haruslah berkekuatan merekatkan. Eksistensi Utusan Golongan dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sejatinya adalah refleksi keutuhan dari semua elemen bangsa yang Bhineka Tunggal Ika. Kini, terbukti bahwa eliminasi Utusan Golongan dari MPR RI melalui amandemen konstitusi nyata-nyata telah memperlemah fungsi dan sistem ketatanegaraan sebagai perekat kebhinekaan.
Sudah cukup lama sebagian warga bangsa merasakan disharmoni dalam dinamika kehidupan bersama. Pun, sudah menjadi fakta pula bahwa kecenderungan itu terjadi karena menggejalanya reduksi akan semangat merawat hakikat persatuan dan kesatuan. Ada begitu banyak contoh kasus di akar rumput yang memberi gambaran nyata tentang disharmoni itu.
Warisan leluhur tentang nilai-nilai saling peduli dan semangat gotong royong mulai terkikis. Guyub dan rukun sebagai akar budaya dan kearifan lokal yang selalu mempertemukan keragaman budaya bangsa pun sering terkoyak hanya karena beda pandangan, beda keyakinan serta beda pilihan politik. Santun dalam laku dan tutur yang menjadi ciri dan karakter warga bangsa di masa lalu pun nyaris langka.
Disharmoni terjadi karena pengingkaran terhadap Pancasila sebagai falsafah kehidupan berbangsa-bernegara. Sebagaimana diketahui, semua warisan nilai luhur yang digali dari akar budaya dan kearifan lokal semua komunitas bangsa itu telah dirumuskan dalam Lima Sila Pancasila. Akar budaya dan kearifan lokal semua komunitas anak bangsa sejatinya menjunjung tinggi keluhuran ajaran agama, nilai-nilai kemanusiaan , kesetaraan dan keadilan, serta prinsip kebaikan bersama yang terkandung pada semua adat istiadat.
Penghayatan terhadap nilai luhur itulah yang membentuk kepribadian dan standar moral semua komunitas anak bangsa. Itu sebabnya sejarah peradaban manusia kemudian mencatat citra masyarakat Indonesia itu sebagai komunitas bangsa yang ramah dan santun, pun kental dengan tradisi ketimuran. Lebih dari itu, akar budaya semua komunitas anak bangsa dengan kearifan lokalnya masing-masing pun dikenal bijaksana dalam berinteraksi dengan lingkungan alam sebagai rahim kehidupan.
Karena pengingkaran, warisan nilai luhur itu nyaris langka dalam dinamika hidup keseharian bersama dewasa ini. Demokrasi, kebebasan berpendapat hingga perubahan zaman bukan menjadi faktor pendorong masyarakat untuk tidak lagi menerima dan mengejawantahkan nilai-nilai luhur itu. Pengingkaran dilakukan karena sejumlah kelompok masyarakat mengadopsi dan menghayati pandangan lain yang tidak sejalan dengan falsafah Pancasila. Dengan mengumandangkan pandangan lain yang diimpor itu, kelompok-kelompok itu kemudian merongrong dan mengguncang persatuan dan kesatuan warga bangsa, karena pandangan lain itu menimbulkan pro-kontra di ruang publik.
Ekses lanjutan yang tampak begitu nyata di permukaan adalah terbentuknya sekat-sekat dalam masyarakat. Disharmoni pun mengemuka karena antar-sekat kelompok masyarakat itu lebih sering saling menghina, menista, mempersekusi hingga menyemburkan hoaxs.
Untuk merespons fakta disharmoni itu, berbagai inisiatif telah diupayakan oleh negara cq pemerintah, oleh organisasi-organisasi kemasyarakatan, dan oleh para tokoh atau figur-figur yang menjadi panutan sejumlah komunitas. Semua inisiatif itu pun telah diwujudnyatakan dengan menggelar banyak forum pertemuan, dialog dan juga kerja sama program. Sayangnya, buah dari semua upaya itu hanya terwujud pada harmoni di tingkat elit.
Sebaliknya, di akar rumput, nyaris tak berdampak. Ruang publik, hingga hari-hari ini, tetap saja marak dengan persekusi antar-komunitas dan antar-individu, semburan hoaxs hingga perilaku intoleran. Bahkan, masih saja ada kelompok-kelompok yang terus memusuhi negara-bangsa sendiri dengan perilaku menolak hormat pada simbol-simbol negara. Pun, sudah ada sejumlah bukti yang menunjukan paham radikalisme telah menyusup ke tubuh birokrasi negara.
Disharmoni ini sudah berlangsung begitu lama. Mengacu pada rentang waktu usia permasalahannya, dapat dikatakan bahwa warga bangsa ibarat masih terus terperangkap pada persoalan disharmoni. Bahkan ketika zaman telah berubah --yang ditandai dengan digitalisasi pada berbagai aspek kehidupan—warga bangsa belum mendapatkan rumusan yang efektif untuk menghakhiri sekat-sekat itu.
Dishamoni hendaknya tidak dibiarkan tereskalasi. Maka, diperlukan upaya dan daya tambahan. Cukup ideal adalah pendekatan dari aspek ketatanegaraan. Sebab, sejatinya, sistem ketatanegaraan haruslah memiliki kekuatan sebagai perekat kebhinekaan warga bangsa. Dengan begitu, berkembangnya aspirasi agar negara-bangsa segera menghadirkan kembali Utusan Golongan di MPR menjadi relevan.
Agar semua terwakili, struktur Utusan Golongan di MPR hendaknya merefleksikan keutuhan semua elemen bangsa yang Bhineka Tunggal Ika. Negara-bangsa akan menugaskan Utusan Golongan di MPR peduli dan fokus mencari rumusan yang efektif untuk merespons disharmoni warga bangsa. Melalui perutusannya di MPR, setiap golongan dalam masyarakat mendapat ruang dan waktu menyuarakan aspirasi masing-masing. Melalui permusyawaratan perwakilan itu, ditumbuhkan semangat untuk merekatkan kembali persatuan dan kesatuan warga bangsa, setelah didahului dengan kesepakatan mengakhiri disharmoni. Dengan demikian, selain relevan, menghadirkan kembali Utusan Golongan di MPR memang ada urgensinya.
Sebagaimana diketahui, empat kali amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) membawa perubahan besar dalam sistem ketatanegaraan. Termasuk perubahan sistem dan lembaga perwakilan politik di Parlemen, khususnya di lembaga MPR RI. Sebelum amandemen keempat, keanggotaan MPR RI terdiri dari anggota DPR, Utusan Daerah, dan Utusan Golongan. Setelah amandemen keempat, keanggotaan MPR RI hanya terdiri dari anggota DPR RI sebagai representasi partai politik, dan anggota DPD RI sebagai representasi kepentingan daerah. Sedangkan Utusan Golongan dihapuskan.
Ketika pimpinan MPR melakukan silahturahmi kebangsaan dengan para tokoh dari berbagai elemen dan komunitas warga bangsa sejak tahun 2019, salah satu aspirasi yang mengemuka adalah urgensi Utusan Golongan di MPR. Para tokoh bangsa berpendapat bahwa unsur Utusan Golongan patut dipertimbangkan untuk hadir kembali dalam keanggotaan MPR RI. Aspirasi ini sudah disuarakan oleh PP Muhammadiyah, PBNU, Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia, dan Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia, serta berbagai organisasi kemasyarakatan lainnya.
Di sela-sela kegiatan masyarakat mempersiapkan perayaan memperingati hari Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 2023 nanti, segenap warga bangsa diingatkan kembali bahwa disharmoni masih menjadi persoalan yang tak boleh diabaikan. Untuk merespons persoalan ini, urgensi kehadiran Utusan Golongan di MPR praktis tak terbantahkan. Sebab, Utusan Golongan di MPR setidaknya bisa menjalankan peran dan fungsinya sebagai salah satu solusi merekatkan kembali persatuan dan kesatuan warga bangsa.