telusur.co.id -Mahkamah Agung (MA) mengabulkan peninjauan kembali (PK) yang diajukan oleh mantan Direktur Utama Kolaka Mining Internasional (KMI) Atto Sakmiwata Sampetoding dan menjatuhkan vonis bebas.
Majelis Hakim PK menyatakan terpidana Atto Sakmiwata Sampetoding tidak terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya.
"Permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali/Terpidana Atto Sakmiwata Sampetoding tersebut dikabulkan dan membatalkan Putusan Mahkamah Agung nomor 122/PK/Pidsus/2016, tanggal 19 September 2016 yang menguatkan putusan Mahkamah Agung nomor 122/PK/Pidsus/2016, tanggal 19 September 2016 yang membatalkan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Kendari nomor 05/PID TIPIKOR/2013/PN.KDI tanggal 30 agustus 2013 tersebut," demikian petikan Putusan bernomor 108 PK/Pid.Sus/2020, dikutip dari website MA. Ketua Majelis Hakim PK yakni Suhadi.
Kepala Bidang Hukum dan Humas MA Adullah membenarkan putusan PK tersebut.
"Sebagaimana yang tercantum dalam SIIP, MA mengabulkan PK atasnama pemohon," ujar Abdullah saat dikonfirmasi, Selasa (23/6/20).
Ketua PN Kendari Rudi Suparnono, membenarkan putusan MA tersebut. Pihaknya telah menerima Petikan Putusan pasal 226 junto pasal 267 ayat 2 KUHAP nomor 108 PK/Pid.sus/2020, Mahkamah Agung.
"Mahkamah Agung menyatakan melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum dan memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya seperti semula," kata Rudi.
Rudi menegaskan, dengan putusan MA itu, maka kasus yang bersangkutan dinyatakan berakhir.
"Putusan MA ini sudah inkrach, final dan mengikat," tukasnya.
Kasus yang menjerat Atto Sakmiwata Sampetoding ialah terkait ekspor nikel ke China dalam bentuk mentah sebanyak 222 ribu mt dengan harga Rp 78 miliar pada 2010. Penjualan itu atas perjanjian jual beli dirinya dengan Pemda Kolaka.
Namun, belakangan terjadi selisih harga Rp 24 miliar. Jaksa lalu menggelar penyidikan ekspor nikel yang dikeruk dari bumi Sulawesi itu.
"Jika memperhatikan proses terjadinya dan pelaksanaan dari perjanjian jual beli antara Pemerintah Kabupaten Kolaka dengan PT Kolaka Mining International, maka perjanjian jual beli tersebut merupakan 'penyelundupan hukum' dan merupakan indikator terdakwa Atto Sakmiwata Sampetoding sebagai perantara (trader), dalam penjualan nikel kadar rendah milik Pemerintah Kabupaten Kolaka tersebut," kata jaksa.
Menurut jaksa, kedudukan Atto dalam transaksi tersebut sebagai perantara (trader) yang mencari keuntungan dengan mengorbankan negara. Hal ini dinilai jaksa tidak sejalan dengan rumusan hukum hasil musyawarah Rapat Pleno Kamar Pidana di Tangerang pada 8-10 Maret 2012 yang menyatakan bahwa suatu perjanjian yang disimpangi dan telah menimbulkan kerugian negara maka perbuatan tersebut adalah tindak pidana korupsi.
Atas modal argumen tersebut, jaksa melawan putusan Pengadilan Tipikor Kendari yang membebaskan Atto. Pendapat ini dikabulkan MA.
"Menjatuhkan hukuman 5 tahun penjara," demikian putus MA sebagaimana dilansir websitenya, Minggu (13/3/2016).
Duduk sebagai ketua majelis yaitu hakim agung Zaharuddin Utama dengan anggota LL Hutagalung dan Syamsul Rakan Chaniago. Majelis sepakat merampas aset pribadi Atto karena kasus itu terjadi pada 25 Juni 2010 sedangkan PT Kolaka Mining Internasional baru didirikan pada 17 Desember 2010.
"Menghukum terdakwa Atto Sakmiwata Sampetoding membayar uang pengganti Rp 24 miliar dikurangi nilai rumah terdakwa yang disita sebesar Rp 3,4 miliar=Rp 20,6 miliar kepada negara. Jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama 1 bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap maka harta bendanya dapat disita jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti itu. Dalam hal harta benda terpidana tidak mencukupi untuk membayar maka diganti pidana selama 4 tahun," putus majelis.
Namun putusan ini tidak bulat. Hakim LL Hutagalung menyatakan kasus di atas merupakan kasus perdata dan sebagai pedagang Atto berhak mendapatkan untung. Sebagai pedagang, menjual lebih tinggi dari harga pembelian adalah wajar karena sebagai pedagang berhak mendapatkan untung.
"Maka perkara a quo adalah sengketa perdata, bukan ranah pidana/tipikor," cetus LL Hutagalung.
Tapi pendapat LL Hutagalung kalah suara dengan dua hakim lainnya sehingga putusan diketok dengan suara terbanyak.
Seperti disebut di atas, MA membebaskan Atto dari segala tuntutan hukum.[Fhr]