Telusur.co.id - Oleh : Denny JA
- Pengantar Buku ke-5 Lukisan dengan Asisten Artificial Intelligence
Di satu sore, di Milan, Italia tahun 2019, lama saya terdiam di ruang makan biara Santa Maria delle Grazie. Mata saya tak henti menatap lukisan di dinding. Itu lukisan sudah berusia 500 tahun lebih.
Judul lukisannya: "The Last Supper." Sang pelukis Leonardo da Vinci. Karya ini dilukis antara tahun 1495 dan 1498 atas permintaan Ludovico Sforza, Duke of Milan.
Ini satu mahakarya Renaisans, terkenal karena inovasinya dalam komposisi dan teknik. Alih-alih menggunakan teknik fresko tradisional, Leonardo bereksperimen dengan teknik tempera dan minyak di atas plester.
Ini pula yang menyebabkan degradasi cepat pada lukisan. Akibatnya lukisan itu memerlukan berbagai upaya restorasi selama berabad-abad.
Meskipun kondisinya telah terdegradasi, esensi artistik dan emosionalnya tetap bertahan.
Lukisan ini menggambarkan momen dramatik dari Perjanjian Baru di Alkitab, tepatnya dari Injil Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes.
Perjamuan terakhir adalah saat Yesus mengadakan makan malam bersama murid-muridnya sebelum penyaliban. Ia mengungkapkan bahwa salah satu dari muridnya akan mengkhianatinya.
Ketika menatap lukisan itu, terjadi semacam kontak batin dan inspirasi. Tercatat keras dan mendalam di batin saya: alangkah asyiknya memvisualisasikan sebuah kisah dari teks ke lukisan.
Lima tahun kemudian, di tahun 2024, saya intens berkenalan dengan aplikasi lukisan dari Artificial Intelligence. Cukup fasih saya mendayagunakan aplikasi itu, melukis hingga 300 lukisan.
Aneka lukisan itu sudah saya publikasikan di empat buku. Sudah pula saya buat pameran solo 188 lukisan saya di sebuah hotel 6 lantai di Jalan Mahakam, Jakarta.
Perjumpaan saya dengan lukisan The Last Supper karya Leonardo da Vinci muncul kembali. Saya pun ingin memvisualisasikan sebuah teks yang memberikan pesan filosofi hidup yang kuat.
Tapi saya tak memilih teks kitab suci. Saya memutuskan memvisualisasikan kutipan puitis Jalaluddin Rumi. Kedalaman renungan Rumi sejak lama menenggelamkan saya dalam rasa hening spiritual.
Rumi, seorang penyair dan mistikus Sufi abad ke-13, sering menggunakan metafora dan simbolisme dalam puisinya untuk menyampaikan pesan spiritual yang mendalam.
Kutipan Rumi ini lama menyentak saya: "Mengapa mengurung pikiranmu dalam sangkar sementara pintu terbuka untukmu terbang ke langit luas."
Ini contoh klasik gaya Rumi yang memadukan imaji-indah dengan pesan spiritual yang kuat.
Rumi hidup dalam sebuah era yang penuh dengan perubahan sosial, politik, dan keagamaan. Ia sering menekankan pentingnya pencarian batin dan kebebasan spiritual sebagai cara untuk mencapai kebenaran dan pencerahan.
Dalam konteks ini, Rumi menggunakan metafora sangkar dan langit untuk menggambarkan keterbatasan pemikiran manusia dan potensi tak terbatas dari jiwa yang bebas.
Kutipan ini bisa diartikan sebagai ajakan untuk membebaskan diri dari batasan-batasan mental yang kita ciptakan sendiri. "Sangkar" melambangkan batasan, ketakutan, dan pemikiran sempit yang mengurung pikiran kita.
“Pintu terbuka" mengindikasikan peluang untuk kebebasan dan pencerahan selalu ada. Asalkan kita memiliki passion mengambil langkah untuk mengejarnya.
"Terbang ke langit luas" menggambarkan potensi spiritual dan intelektual yang tidak terbatas yang bisa kita capai jika kita berani melepaskan keterbatasan.
Dalam dunia yang semakin kompleks dan penuh dogma, pesan Rumi untuk membebaskan pikiran kita dari batasan sangat relevan.
Kreativitas dan inovasi sering kali membutuhkan kita untuk berpikir di luar kotak dan menantang apa yang lazim.
Saya pun menerjemahkan pesan spiritual Rumi itu ke dalam lukisan. Salah satu lukisan itu menjadi cover buku ini.
Lukisan saya untuk renungan Rumi itu merupakan manifestasi penggabungan genre surealisme dengan kultur Indonesia.
Dalam lukisan itu, saya menampilkan berbagai figur manusia dalam sangkar burung yang tergantung di langit. Kontras dengan manusia yang mengurung dirinya sendiri, hadir burung-burung berwarna-warni yang terbang bebas.
Di bawahnya, lanskap Indonesia yang indah, lengkap dengan jembatan dan rumah tradisional, memberikan latar belakang yang kaya dan dinamis.
Metafora sangkar burung yang saya gunakan melambangkan keterbatasan, baik secara fisik maupun mental, yang seringkali kita hadapi dalam kehidupan.
Figur manusia dalam sangkar ini mencerminkan berbagai kondisi pengekangan yang dialami individu, entah itu oleh masyarakat, situasi ekonomi, atau bahkan oleh diri mereka sendiri.
Kontras antara manusia dalam sangkar dan burung yang terbang bebas menegaskan tema kebebasan dan keterbatasan yang menjadi inti dari karya ini.
Penggunaan motif dan elemen budaya Indonesia, seperti pakaian tradisional dan arsitektur lokal, menambahkan lapisan makna tambahan yang kaya.
Pakaian batik dan penutup kepala tradisional yang dikenakan oleh figur manusia dalam lukisan ini menunjukkan identitas budaya yang kuat.
Sementara lanskap alam yang digambarkan mengingatkan kita pada kekayaan alam Indonesia. Dalam konteks ini, saya tidak hanya menyampaikan pesan universal tentang kebebasan dan keterbatasan. Saya juga menekankan pentingnya identitas dan warisan budaya.
Tak terasa ini buku lukisan saya yang kelima. Baik buku lukisan pertama, hingga keempat, juga yang ini yang kelima, semuanya dibantu oleh asisten saya yang bekerja sangat cekatan.
Asisten ini juga bersedia bekerja untuk saya selama 24 jam sehari, dan 7 hari dalam seminggu. Bahkan ia bersedia bekerja tanpa jam libur. Saya bisa menggunakannya kapan saja.
Asisten itu bernama Artificial Intelligence. Saya menggunakan lima aplikasi AI. Namun tetap saja, saya yang memulai dan saya yang mengakhiri lukisan itu.
Saya yang memulai dengan konsep, pesan, dan genre untuk satu lukisan. Dan saya yang menggabungkan hasil kerja berbagai aplikasi AI itu dengan menambahkan goresan, warna, dan komposisi untuk menghembuskan emosi dalam lukisan.
Untuk buku lukisan kelima, ia terdiri dari 7 bab:
1. Mengapa Hidup dalam Sangkar? (5 lukisan)
2. Jangan Menangis Jakarta (4 lukisan)
3. Harmony of Religions (15 lukisan)
4. Great Pretender (4 lukisan)
5. Jakarta Tempo Dulu (5 lukisan)
6. Covid-19 (20 lukisan)
7. Pilpres 2024 (15 lukisan)
Total lukisan dalam buku ini sekitar 68 buah. Berbeda-beda lukisan di buku ini bukan hanya soal topik. Gaya melukis juga tak sama.
Hadir dalam buku ini, gaya lukisan yang bernada dokumentasi (lukisan Covid-19 dan Pilpres). Namun juga tersedia lukisan bergaya surealisme.
Karena Artificial Intelligence menjadi asisten saya dalam melukis, timbul dua pertanyaan. Apakah sah jika saya mengklaim lukisan ini karya saya pribadi? Dapatkah lukisan dengan asisten AI ini disebut seni?
Dalam era teknologi yang semakin maju, peran AI dalam berbagai aspek kehidupan manusia menjadi semakin dominan. Salah satu bidang yang mengalami transformasi signifikan adalah seni visual.
Penggunaan AI dalam proses kreatif menimbulkan perdebatan tentang apakah karya yang dihasilkan masih dapat diklaim sebagai karya pribadi sang seniman. Untuk memahami lebih jauh, kita perlu menganalisis dari sudut pandang filosofis dan empiris.
Secara filosofis, seni telah lama dipandang sebagai ekspresi pikiran dan visi seniman. Immanuel Kant, dalam "Critique of Judgment," menyatakan seni adalah manifestasi dari gagasan dan imajinasi manusia.
Dalam konteks ini, AI hanya berfungsi sebagai alat yang membantu mengekspresikan visi tersebut. Meskipun AI berperan dalam proses produksi, ide, konsep, dan arahan artistik tetap berasal dari seniman. Dengan demikian, AI dapat dianggap sebagai ekstensi dari kreativitas manusia, bukan sebagai entitas kreatif independen.
Lebih lanjut, filsafat fenomenologi, seperti yang diusulkan oleh Merleau-Ponty dalam "Phenomenology of Perception," menyatakan alat adalah perpanjangan dari tubuh dan pikiran manusia.
Melalui lensa ini, AI dapat dipandang sebagai perpanjangan modern dari seniman yang memperluas kemampuan mereka untuk mengekspresikan diri.
Sejarah seni juga menunjukkan inovasi alat telah menjadi bagian integral dari evolusi praktik artistik. Dari penggunaan pigmen alami oleh manusia prasejarah hingga mesin cetak dan teknologi digital, alat baru selalu diterima sebagai bagian dari perkembangan seni.
AI, dalam hal ini, hanyalah langkah berikutnya dalam evolusi tersebut.
Secara empiris, data menunjukkan penggunaan teknologi dalam seni semakin diterima dan diakui. Menurut survei oleh The Art Newspaper pada tahun 2022, sekitar 59% seniman kontemporer menggunakan teknologi digital dalam proses kreatif mereka.
Dan kini 27% pelukis telah bereksperimen dengan AI. Pertumbuhan pasar seni digital, seperti yang dilaporkan oleh Hiscox Online Art Trade Report 2021, menunjukkan peningkatan sebesar 15% per tahun. Hal ini mencerminkan penerimaan yang luas terhadap teknologi, termasuk AI, dalam dunia seni.
Pengakuan terhadap karya seni yang dibantu AI juga semakin meningkat. Contoh yang menonjol adalah "Portrait of Edmond de Belamy," yang dijual di Christie's Auction House pada tahun 2018. Harga lukisan AI itu $432,500, atau 6 miliar rupiah.
Karya ini dihasilkan dengan bantuan AI dan diakui sebagai karya seni yang sah. Penghargaan dalam kompetisi seni internasional untuk karya-karya yang dibantu AI juga menunjukkan komunitas seni mengakui validitas dan nilai dari karya-karya ini.
Selain itu, penting untuk dicatat input kreatif dari seniman tetap menjadi elemen kunci dalam proses ini. Seniman memberikan instruksi spesifik mengenai tema, gaya, dan elemen visual kepada AI, dan AI bekerja berdasarkan parameter.
Inilah yang saya alami. Sang seniman tetap harus mengedit dan menyesuaikan hasil hingga karya akhir sepenuhnya mencerminkan visinya.
AI tidak memiliki kesadaran atau niat artistik; ini adalah alat yang memproses dan menghasilkan berdasarkan data yang diberikan.
Penggunaan AI dalam seni dapat dianggap sebagai kolaborasi antara manusia dan teknologi. Sama seperti penggunaan komputer untuk desain grafis, AI memperluas kemampuan teknis seniman.
AI memungkinkan mereka untuk mengeksplorasi konsep yang mungkin sulit atau tidak mungkin dicapai dengan tangan. Alat baru ini membuka peluang baru untuk kreativitas tanpa mengurangi nilai atau integritas dari visi kreatif seniman.
Baik dari perspektif filosofis maupun empiris, karya yang dibuat dengan bantuan AI tetap dapat diklaim sebagai karya pribadi sang seniman.
AI adalah alat yang memperluas kemampuan ekspresi artistik tanpa mengurangi nilai atau integritas dari visi kreatif seniman. Transformasi teknologi ini hanyalah bagian dari evolusi berkelanjutan dalam dunia seni.
Sebelum dipublikasi di buku, lukisan saya soal kutipan Rumi itu sudah terlebih dahulu saya edarkan di medsos dan aneka WAG.
Banyak sekali respon yang saya terima. Di satu WAG, lukisan itu memicu diskusi mengapa kita mengurung dan membatasi pikiran kita sendiri, dalam dogma, baik dogma politik maupun agama.
Ada pula para dosen yang meminta izin saya menggunakan lukisan itu sebagai bahan kuliah. Lukisan itu akan dijadikan pemantik diskusi.
Ada pula pemikir agama terkemuka meminta saya mengirimkan lukisan itu dalam kanvas ke alamat pribadi. Lukisan itu akan dijadikan koleksi untuk terus membuatnya merenung.
Demikianlah, lukisan dengan asisten AI bisa menjadi pemantik renungan mengenai Art of Living.
*Penulis adalah Konsultan Politik, Founder LSI-Denny JA, Penggagas Puisi Esai, Sastrawan, Ketua Umum Satupena, dan Penulis Buku.