telusur.co.id - Tingkat partisipasi masyarakat dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jakarta 2024 menjadi perhatian serius setelah data menunjukkan adanya penurunan dibandingkan pilkada sebelumnya.
Pengamat politik Pangi Syarwi Chaniago, menilai, fenomena ini bisa berdampak pada kualitas demokrasi di Indonesia.
"Tingkat partisipasi politik sangat penting. Hidup matinya demokrasi sangat ditentukan oleh prasyarat partisipasi politik," kata Direktur Eksekutif Voxpol Center Research Pangi Syarwi Chaniago saat dihubungi di Jakarta, Jumat (6/12/24).
Ia menjelaskan, voter turnout atau tingkat kehadiran pemilih dalam pilkada sebelumnya menunjukkan berbagai permasalahan yang perlu menjadi bahan evaluasi tidak hanya KPU tetapi juga pemerintah dan partai politik selaku pemegang wewenang untuk menentukan kandidat.
"Salah satu penyebab rendahnya partisipasi ini adalah ketidak dekatannya masyarakat dengan calon kepala daerah yang maju," ujarnya.
Faktor lain yang membuat rendahnya partisipasi masyarakat karena banyak warga merasa tidak memiliki hubungan emosional atau keterwakilan dengan kandidat yang ada.
"Apakah karena tidak dekat dan merasa tidak merasa dekat sama calon kepala daerah sehingga mereka memilih golput? Atau calon kepala daerah yang maju tidak sesuai dengan representasi politik mereka, artinya tidak ada pilihan alternatif," tuturnya.
Pangi juga menyoroti proses seleksi calon kepala daerah yang dianggap masih didominasi oleh elite politik. Hal ini membuat kandidat yang muncul sering kali tidak aspiratif atau tidak mencerminkan aspirasi masyarakat luas.
"Calon kepala daerah dipilih atau diseleksi elite sehingga tidak aspiratif," tambahnya.
Golput sendiri memiliki berbagai bentuk, seperti golput administratif, golput teknis, dan golput ideologis.
Golput administratif terjadi ketika pemilih tidak bisa menggunakan hak pilihnya karena tidak terdaftar di daftar pemilih tetap (DPT). Menurut Pangi, masalah ini menjadi tanggung jawab Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk memastikan validitas data pemilih.
Di sisi lain, golput teknis disebabkan oleh hambatan teknis seperti sulitnya akses ke tempat pemungutan suara (TPS) atau kendala lainnya. Sementara itu, golput ideologis muncul karena pemilih secara sadar memilih untuk tidak mendukung kandidat mana pun sebagai bentuk protes terhadap sistem atau kandidat yang tersedia.
Penurunan partisipasi ini harus menjadi perhatian serius semua pihak, termasuk pemerintah, KPU, dan partai politik.
Sebelumnya, Komisi Pemilihan Umum DKI Jakarta menegaskan tingkat partisipasi pemilih pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jakarta 2024 hanya mencapai 58 persen.
"Hasil rekapitulasi dari masing-masing kota ini sudah selesai dan kami mencatat tingkat partisipasi di DKI Jakarta ini mencapai 58 persen," kata Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta, Fahmi Zikrillah.[Fhr]