telusur.co.id - Eksponen gerakan mahasiswa 1998, Yogyakarta, Haris Rusly Moti menyatakan militerisme tidak akan rebound. Hal ini terkait revisi Undang-Undang (UU) TNI yang tengah dibahas di parlemen. Menurut Haris, revisi UU TNI juga tak bertentangan dengan semangat Reformasi.
“Revisi uu TNI tidak menyalahi semangat Reformasi, karena hanya mengatur penugasan TNI di wilayah jabatan operasional profesional kementerian/Lembaga,” kata Haris kepada wartawan, Selasa (18/3/2025).
Haris menjabarkan enam pandangannya mengenai itu. Pertama, menurut Haris, pada prinsipnya partisipasi publik dalam mengkritisi dan memberi masukan untuk menyempurnakan revisi UU TNI dan Polri tetap harus dihormati. Sikap kritis ini mesti diletakkan dalam pijakan dan arah yang sejalan dengan semangat Proklamasi Kemerdekaan 1945, Pancasila, dan UUD 1945.
Kedua, Haris menilai salah satu ciri supremasi sipil yang tampak di depan dengkul dan jidat adalah ketika revisi UU TNI dilakukan oleh lembaga tinggi negara DPR yang merupakan representasi kehendak sipil. Anggota DPR-nya, kata Haris, berasal dari banyak partai politik (parpol). Parpol, tegas Haris, merupakan organisasi politik sipil.
Haris menyatakan TNI tak lagi mempunyai fungsi sosial dan politik. Demikian pula TNI tidak lagi memiliki kewenangan terlibat langsung membuat peraturan yang mengatur kelembagaannya sendiri seperti di era Orde Baru. TNI hanya dimintai masukan sebagai bahan pertimbangan terkait revisi UU. TNI hanya menjadi pelaksana dari UU yang dibuat dan diputuskan oleh DPR.
“Sepanjang era Reformasi, TNI membuktikan dirinya tunduk pada keputusan lembaga negara yang dikendalikan oleh sipil. Kenyataan itu menunjukan bahwa supremasi sipil bahkan tampak nyata di depan jidat dan dengkul kita ketika sedang berlangsung revisi UU TNI,” ujar Haris.
Ketiga, Haris menuturkan, berbeda dengan era Orde Baru, melalui peran Sosial Politik (Sospol) ABRI, ada jabatan Kasospol ABRI dan Fraksi ABRI di MPR-RI. Ketika itu, disebut Dwi Fungsi ABRI, lantaran selain berfungsi sebagai institusi pertahanan negara, ABRI juga berfungsi sebagai kekuatan sosial dan politik, menjadi dinamisator dan stabilisator politik, konduktor dan terlibat langsung dalam membuat keputusan politik kenegaraan di lembaga tinggi dan tertinggi negara, termasuk keputusan yang mengatur tugas pokok dan fungsi ABRI.
“BegItulah era supremasi militer, di mana kekuatan sipil tunduk diatur secara sosial dan politik oleh militer. Sementara saat ini ada Pilkada, Pilpres dan Pileg langsung, di mana institusi sipil seperti parpol yang memainkan peran sentral,” katanya.
Keempat, Haris mengatakan salah kaprah jika revisi UU TNI dikaitkan dengan Dwi Fungsi ABRI rebound. Menurutnya, revisi UU TNI sama sekali tidak bertentangan dengan semangat reformasi, tidak mengembalikan peran Sospol TNI. “Omong kosong tuduhan militerisme rebound yang distempel ke dalam naskah revisi UU TNI,” tegas Haris.
Oleh karena itu, Haris mengatakan para pihak yang mengobarkan ketakutan dan trauma terkait ancaman militerisme atau Dwi Fungsi Rebound, tidak memiliki alas teori kuat. “Persis si bolang ngelantur di siang bolong,” imbuhnya.
Kelima, Haris mengatakan revisi UU TNI hanya mengatur terkait penugasan perwira TNI di wilayah operasional kementerian dan lembaga negara, yang membutuhkan profesionalitas dan keahlian khusus perwira TNI.
“Justru menurut saya, sangat meritokrasi karena yang ditugaskan adalah perwira profesional yang mempunyai kapasitas dan keahlian yang dibutuhkan oleh kementerian dan lembaga. Perlu dicatat perwira-perwira TNI tersebut disekolahkan dengan biaya oleh negara, mestinya negara dapat memaksimalkan keahliannya untuk terlibat memajukan kesejahteraan rakyat,” ucapnya.
Hal yang perlu juga diperhatikan, menurut Haris, jabatan-jabatan operasional di kementerian dan lembaga yang dapat diisi oleh perwira TNI, tidak mutlak di isi oleh perwira TNI. Semuanya tergantung pimpinan yang menggunakannya.
“Apakah TNI, Polri atau sipil kewenangan pengangkatannya ada pada pimpinan yang menggunakannya, Bahkan ketika menugaskan prajurit TNI di wilayah operasional di kementerian dan lembaga tersebut juga dilakukan oleh lembaga negara non militer dan dalam pengawasan institusi sipil,” ucapnya.
Haris mengatakan apabila diperhatikan, sebelum dilakukan revisi UU TNI, perwira TNI sudah sering kali ditugaskan di jabatan profesional operasional kementerian dan lembaga untuk tujuan membantu jalan program pembangunan.
Sebagai contoh, kata Haris, saat pandemi Covid, almarhum Letjen TNI Doni Monardo yang saat itu menjabat Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) ditunjuk jadi Kepala Satgas Covid.
“Jenderal Doni adalah tentara aktif yang memimpin menggerakan seluruh jajaran TNI dan Polri dalam penanganan Covid. Seluruh rakyat diperintah mengunci diri di dalam rumah, hanya prajurit TNI, Polri dan petugas kesehatan yang ditugas menantang maut,” katanya.
“Jenderal Doni diangkat dan tunduk pada keputusan Presiden RI, pejabat sipil. Jadi menurut saya, revisi UU TNI dilakukan agar penempatan perwira TNI yang dibutuhkan kapasitas dan keahliannya, terutama yang terkait dengan pertahanan negara, mempunyai landasan hukum atau tidak menyalahi peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kita patut mendukung pengisian jabatan profesional dan operasional di kementerian dan lembaga oleh perwira profesional TNI,” imbuhnya.
Keenam, Haris mengatakan dapat memaklumi penyakit bawaan aktivis LSM yang cara berpikirnya cenderung dikotomis dan parsial dalam melihat tata kelola negara. Padahal, tutur Haris, negara adalah sebuah sistem yang berdiri di atas banyak aspek, unsur dan elemen saling menopang secara kompatibel antara satu dengan lainnya.
“Mestinya kita mulai belajar mempertimbangkan multi aspek, selain soal demokrasi dan hak-hak sipil, ada aspek pertahanan dan keamanan yang juga menopang sebuah negara dapat bertahan, juga patut menjadi pertimbangan dalam mengkritisi tata kelola negara,” katanya.
Haris menuturkan revolusi digital mengajarkan sesuatu yang disebut sebagai kolaborasi. Menurutnya, kolaborasi sipil dan militer sangat dibutuhkan. Dikotomisasi, bahkan otonomisasi, kata Haris, sudah kehilangan relevansinya.
“Kita butuh kolaborasi, integrasi dan konsentrasi dari dan oleh semua kekuatan bangsa dalam mewujudkan sebuah gagasan bersama, membangun Indonesia menjadi negara maju, agar tidak terus menerus menjadi bangsa inlander yang dicucuk hidungnya persis kebo oleh lembaga donor asing,” katanya.
“Go ahead revisi UU TNI, lanjut terus, kita dukung. Revisi UU TNI yang menempatkan perwira TNI di jabatan profesional dan operasional kementerian dan lembaga tidak mengancam supremasi sipil dan tidak bertentangan demokrasi,” demikian Haris Rusly Moti.[]
Revisi UU TNI, Haris Rusly Moti: Omong Kosong Militerisme Rebound

Eksponen gerakan mahasiswa 1998, Yogyakarta, Haris Rusly Moti. Foto: ist