Soal Salam Lintas Agama, Guru Besar UIN: Fatwa Konteksnya Ditujukan Kepada Internal Umat Islam  - Telusur

Soal Salam Lintas Agama, Guru Besar UIN: Fatwa Konteksnya Ditujukan Kepada Internal Umat Islam 

Guru Besar Hukum Islam UIN Jakarta, Profesor Ahmad Tholabi Kharlie. (Ist).

telusur.co.id - Guru Besar Hukum Islam UIN Jakarta, Profesor Ahmad Tholabi Kharlie, menanggapi polemik Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) ihwal larangan menyampaikan salam lintas agama. Menurutnya, perkara tersebut perlu didudukkan pada dua ranah yang berbeda yakni arena internum dan eksternum. 

Tholabi mengatakan polemik atas fatwa MUI tentang larangan salam lintas agama disebabkan bercampurnya forum internum dan forum eksternum dalam merespons fatwa tersebut. Menurut dia, ada perkara yang bersifat internal umat beragama, ada pula perkara yang sifatnya eksternal atau antarumat beragama. 

“Fatwa konteksnya ditujukan kepada internal umat Islam dan ditempatkan pada forum internal umat Islam,” kata Tholabi di Jakarta, Sabtu (1/6/24).

Wakil Rektor bidang Akademik UIN Jakarta ini menegaskan fatwa tersebut tentu tidak ditujukan dalam konteks  eksternal umat Islam. Konsekuensinya, kata Tholabi, fatwa tersebut  tidak tepat jika ditempatkan dalam forum eksternum yang tempatnya di ruang publik. 

“Polemik yang muncul disebabkan fatwa tersebut dibaca dan ditempatkan pada forum eksternum atau ruang publik,” tegas Tholabi. 

Dia mengatakan ada kalanya kaidah agama dapat diakomodasi melalui kaidah hukum, tapi ada kalanya juga kaidah agama tidak dapat diakomodasi melalui kaidah hukum. Fatwa MUI ini masuk kategori kaidah agama yang tak dapat diakomodasi dalam kaidah hukum (positif).

“Di sini pentingnya pemilahan forum internum dan eksternum. Negara menjamin setiap umat beragama dalam mengekspresikan agama dan keyakinannya. Itu konteksnya forum internum. Dalam forum eksternum, negara berkewajiban membangun harmoni antarumat beragama,” jelas Tholabi.

Tholabi mengingatkan tentang relativitas fatwa. Dia menyebutkan sebagai produk pemikiran hukum Islam, fatwa tentu tidak bersifat mengikat dan absolut. Kecuali bagi mustafti atau pemohon fatwa. 

"Akan selalu ada tafsir-tafsir berbeda berdasarkan pemahaman atas teks-teks suci. Publik harus bijak dan bajik. Tidak saling klaim kebenaran mutlak atau menghujat suatu pendapat hukum tertentu," ujar Tholabi. 

Dia menyebutkan salam lintas agama tentu harus ditempatkan pada porsi yang tepat. Hal ini berkaitan dengan pelaksanaan fatwa yang dikeluarkan MUI. Menurut dia tak mungkin dan tidak lazim salam lintas agama dilakukan dalam forum internum umat Islam seperti dalam Khotbah Jumat atau pengajian keagamaan yang hanya dihadiri oleh internal umat Islam. Namun, kata Tholabi, menjadi hal lazim salam lintas umat beragama dilakukan di forum publik. 

“Apalagi dalam forum yang diselenggarakan oleh lembaga publik pemerintahan atau forum-forum resmi lintas agama lainnya. Itu konteksnya forum eksternum, publik. Ini menjadi bagian dari ikhtiar membangun harmoni antarumat beragama,” tandas Tholabi. [Tp]


Tinggalkan Komentar