telusur.co.id - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menjadi sorotan tajam atas berbagai gugatan yang datang mengenai syarat usia minimum dan maksimum untuk calon presiden (Capres) dan calon wakil presiden (Cawapres). Para kritikus menyalahkan MK atas ketidakmampuannya dalam menangani gugatan uji materiil yang berkaitan dengan angka-angka, terutama sehubungan dengan usia seseorang dalam jabatan dan status hukumnya.
Bahkan, seiring berjalannya waktu, MK sering disebut sebagai "Mahkamah Kalkulator" karena seringkali terlibat dalam memutuskan perkara yang melibatkan aspek numerik yang rumit.
"MK pernah dijuluki dengan plesetan Mahkamah Kalkulator karena seringnya mengadili urusan angka," kata Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Selestinus, Selasa (26/9/23).
Menurut Petrus, berbagai gugatan yang diajukan ke MK mengenai syarat usia Capres-Cawapres pun beragam. Ada yang mengusulkan batasan minimal usia 35 tahun (diajukan oleh PSI), yang lain mengusulkan usia minimal 30 tahun, bahkan ada yang mencoba mengajukan usia minimal hanya 25 tahun.
Sementara itu, Partai Garuda mengajukan usia minimum dengan tambahan pengalaman sebagai kepala daerah. Bahkan, ada yang berani mengajukan batasan usia maksimum hingga 70 tahun.
Hal ini menunjukkan bahwa MK telah terjebak dalam kebingungannya sendiri. Yaitu mencampuri wilayah yang seharusnya menjadi kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah, yang sering disebut sebagai domain open legal policy.
"Artinya DPR sebagai fungsi representasi rakyatlah yang berwenang mengubah atau meniadadakan sebuah UU, bukan oleh MK," ucap Petrus.
Petrus mengingatkan agar MK menolak gugatan-gugatan semacam itu, karena syarat usia adalah bagian dari domain open legal policy yang sepenuhnya berada di tangan pembuat Undang-Undang yakni DPR dan Pemerintah.
Apalagi prinsip open legal policy adalah kebijakan hukum terbuka yang didasarkan pada konstitusi atau Undang-Undang Dasar 1945, serta cara sebuah norma hukum dibentuk, yang diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang sudah ada dan telah mengalami beberapa kali perubahan.
"Harus diingat sebuah UU dibentuk lewat kajian, lewat naskah akademik, lewat perdebatan di Parlemen dan lewat public hearing dengan masyarakat, karenanya MK tidak boleh mengambil alih kewenangan open legal policy itu," tutup Petrus. [Tp]