telusur.co.id, Berdasar rencana yang tertuang dalam RPJMN 2025-2029, Presiden RI Prabowo Subianto sedang berupaya keras untuk mewujudkan kedaulatan pangan Indonesia. Political will yang telah termanifestasikan dalam berbagai program pemerintah ini tentu perlu didukung oleh semua lapisan masyarakat.
Mengingat, dengan berhasilnya Indonesia meraih kedaulatan pangan maka akan banyak memiliki dampak positif lainnya.
Upaya tersebut tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Demikian disampaikan Anggota Komisi IV DPR RI, Sonny T. Danaparamita di Nusantara I, Gedung DPR RI, Jakarta, Jumat (23/5/2025).
"Kalau bicara urgensinya, tentu soal pangan adalah soal yang penting dan mendesak. Sebagaimana kata Ir. Soekarno sang proklamator bangsa bahwa persoalan pangan adalah persoalan mati hidupnya sebuah bangsa," tegas Sonny T. Danaparamita.
Namun demikian, lanjut Alumni GMNI ini, saat ini pengelolaan pangan di Indonesia masih penuh dengan tantangan.
Berdasarkan dokumen Kebijakan Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2026, Indonesia masih menghadapi kurang optimalnya produksi pangan. Dan untuk memenuhi kebutuhan akibat kurangnya produksi pangan ini, maka pemerintah kemudian melakukan upaya impor pangan.
Pada tahun 2024 yang lalu, defisit produksi beras tercatat sebesar 367.595 ton dan kebutuhan cadangan beras pemerintah (CBP) sampai dengan 3 juta ton menyebabkan ketergantungan impor mencapai 4,3 juta ton dan diperkirakan dapat meningkat hingga 6,1 juta ton pada tahun 2029.
Sementara pada tahun yang sama, produksi daging sapi kita mengalami defisit hingg mencapai 288.261 ton. Dan akibatnya, hampir 95 persen kebutuhan tambahan dipenuhi melalui impor.
Kondisi serupa juga terjadi pada komoditas susu sapi serta komoditas pangan maupun yang terkait dengan pangan.
“Berbicara tentang impor, saat ini kebijakan impor pangan kita memang tidak konsisten. Dan harus diakui, salah satu penyebabnya juga karena ada pasal (yakni pasal 14 dan pasal 36) dalam undang-undang tentang pangan kita yang berpotensi menyebabkan terjadinya hal itu. Dan akibatnya, kita seringkali mengalami fluktuasi harga pangan yang susah dikendalikan, menimbulkan ketidakpastian iklim usaha, dan yang paling memprihatinkan adalah berdampak buruk bagi para petani," kata anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan ini.
Sonny memandang, masih banyak pasal-pasal dalam undang-undang pangan kita saat ini yang sudah tidak sesuai dengan situasi dan semangat jaman.
Karena itu, tidak heran jika kemudian Komisi IV DPR RI sedang membentuk Panja revisi Undang-Undang Nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan.
Anak buah Megawati Soekarno Putri itu menegaskan bahwa Fraksi PDIP akan selalu terdepan untuk menyempurnakan pengelolaan pangan agar lebih baik lagi dan sesuai kebutuhan zaman, sehingga kedaulatan pangan benar-benar terwujud dan petani bisa lebih sejahtera.
“Untuk urusan pengelolaan pangan yang lebih baik, tentu Fraksi PDI Perjuangan menjadi bagian terdepan dalam membenahinya. Selain itu, kami juga sangat ingin Indonesia yang dikenal sebagai negara agraris ini semua petaninya dapat hidup sejahtera. Untuk itu, poksi kami akan secermat mungkin dalam proses revis undang-undang pangan ini," tandas Sonny.
Menurut Sonny, fraksinya juga telah menyusun catatan-catatan terkait revisi undang-undang pangan ini. Baik itu yang terkait dengan produksi pangan, mutu pangan, cadangan pangan berikut pengelolaannya, kelembagaan yang mengatur, hingga tentang keanekaragaman pangan.
“Yang tidak boleh dilupakan juga adalah soal keanekaragaman pangan kita. Selain sebagai negara dengan penduduk yang majemuk, bangsa ini juga memiliki keanekaragaman hayati yang luar biasa. Dan keanekaragaman ini pengelolaannya masih jauh dari kata optimal," kata Sonny.
Kita seringkali mensimplifikasi masalah kebutuhan pangan kita hanya dengan memikirkan produksi beras semata. "Kita sejak kecil bahkan tidak pernah dikenalkan tanaman pendamping beras seperti Sukun, Sorgum, Jali-Jali, Ubi, Talas, Pisang, dan lain sebagainya. Maka paradigma kita harus diubah. Di BRIN kita memiliki banyak pakar dan ahli yang telah menghasilkan banyak riset yang terkait dengan pangan. Kita dapat mengajak mereka semua," ujar Anggota DPR RI dari Daerah Pemilihan Jatim III (Banyuwangi, Situbondo, Bondowoso) ini.
Yang tidak kalah pentingnya, Sonny juga menyebutkan beberapa pasal krusial lain yang ada dalam undang-undang pangan. Termasuk juga yang terkait dengan tren konsumsi Pangan Ultra-Proses yang belum diatur dalam undang-undang pangan kita namun semakin meningkat seiring berjalannya waktu.
Menurut data Nielsen Retail Audit 2022, penjualan produk makanan ultra-proses seperti mie instan, minuman manis, dan camilan kemasan terus meningkat dengan pertumbuhan tahunan rata-rata 6-8%.
"Saya mencemaskan dampak dari konsumsi makanan ultra proses. Kalau ini tidak kita tangani, selain dampak buruk bagi kesehatan masyarakat sudah barang tentu juga akan menjadi beban biaya bagi negara, mengingat beban biaya penanganan yang diklaimkan oleh BPJS saat ini sudah sangat besar sekali. Oleh karena itu, memasukkan pengaturan tentang Pangan Ultra-Proses ini juga menjadi hal yang urgen juga dalam revisi nanti," tutup Sonny.