Telusur.co.id - | Sejarah | Pada bulan Juli 1922, Mohammad Hatta menerima surat dari Darsono di Berlin yang mengabarkan bahwa Tan Malaka ada di Berlin. Darsono menganjurkan Hatta, “jika ada tempo” supaya datang melancong ke Berlin.
Bertemu Darsono
Darsono saat itu adalah salah seorang pemimpin komunis dari Indonesia. Hatta bertemu Darsono pada suatu malam di bulan Juni 1922 di Hamburg. Darsono datang dari Berlin khusus untuk menemui Hatta yang sedang berkunjung ke Hamburg.
Menurut pengakuannya, Darsono sudah enam bulan berada di Jerman, dan telah berpidato beberapa kali di beberapa tempat untuk Partai Komunis Jerman (PKJ).
Sesudah bercakap-cakap sekitar dua jam malam itu, keesokan harinya, Darsono mengajak Hatta berkunjung ke kantor PKJ cabang Hamburg. Dari situ, Hatta dan Darsono berpisah. Hatta kembali ke tempatnya menginap, Darsono kembali ke Berlin.
Oleh Hatta, surat dari Darsono yang diterima sebulan sesudah mereka bertemu, ditunjukkan kepada dr. Soetomo.
“Baiklah Saudara Hatta pergi ke Berlin,” kata Soetomo sesudah membaca surat dari Darsono. Keesokan harinya, Hatta berangkat ke Berlin.
Bertemu Tan Malaka
Di Berlin, Hatta menginap di rumah Darsono. Ternyata Tan Malaka juga menginap di rumah yang sama.
Selama lima hari di Berlin, banyaklah percakapan antara Hatta, Darsono, dan Tan Malaka. Percakapan terutama mengenai Indonesia.
Seperti diceritakan oleh Hatta (2011: 181-182) dalam satu kesempatan, Hatta bertanya kepada Tan Malaka kemungkinan dia menetap di Moskow. Menurut Tan, sudah sepantasnya dia pergi ke Moskow, karena Moskow adalah pusat gerakan komunis sedunia.
Akan tetapi Tan Malaka tidak akan tinggal di Moskow. Tan tidak akan beristirahat. Dia akan terus bergerak dan berjuang untuk Indonesia Merdeka.
Kepada Hatta, Tan Malaka mengungkapkan tekadnya untuk meneruskan perjalanan ke Timur Jauh, dan dari situ Tan akan membuka hubungan dengan pergerakan kemerdekaan di seluruh Asia.
Tidak Mudah Membungkuk
Di Moskow, di bawah pemimpin komunis Stalin, Tan Malaka merasa tidak akan bisa hidup, karena dia tidak memiliki tulang punggung yang mudah membungkuk.
Tan Malaka menegaskan, dirinya tunduk kepada prinsip yang telah dimufakati bersama, tetapi dia tidak bisa menundukkan diri kepada orang seorang.
Dalam gerakan komunisme sebagaimana yang dipelajarinya, dari semula berlaku dasar sama rata sama rasa, berlaku demokrasi yang sepenuhnya.
Komunisme di bawah Stalin, kata Tan Malaka, menanam dalam barisannya, perbudakan. Ada seorang pemimpin yang berkuasa, yang lain itu budaknya.
“Apakah ini pembawaan dari golongan bangsa yang disebut Slavische volkeren?” tanya Tan Malaka yang menekankan kata “slavisch” itu seolah-olah sama artinya dengan “slaaf” dalam bahasa Belanda yang berarti “budak”.
“Sebab itu,” kata Tan Malaka, “aku menjauhi lingkungan yang bertentangan dengan komunisme yang sebenarnya. Aku pergi ke Timur Jauh, ikut berjuang di sana untuk kemerdekaan Indonesia.”
Hatta menyela: “Bukankah diktator termasuk dalam sistem komunisme? Ambillah misalnya patokan Marx, diktator proletariat.”
Sigap Tan Malaka menjawab: “Diktator proletariat dalam teori Karl Marx hanya terdapat pada masa peralihan, mengalihkan kekuasaan kapitalis atas sumber produksi ke tangan masyarakat. Kaum buruh, yang terbangun dahulu di bawah asuhan perjuangan kelas, menjadi perintis jalan untuk menegakkan keadilan ke jurusan sosialisme dan komunisme, yang akan terselenggara dalam produksi oleh orang banyak dan untuk orang banyak di bawah pimpinan badan-badan masyarakat. Ini bertentangan dengan diktator orang seorang!”
Menuju Republik Indonesia
Sejak percakapan di Berli itu, Hatta sudah membayangkan Tan Malaka yang “lurus tulang punggung keyakinannya” itu suatu saat akan bertentangan dengan Stalin, mungkin kelanjutannya akan dikeluarkan dari organisasi komunisme yang dikuasai oleh Stalin.
Tiga tahun sesudah pertemuan di Berlin, barulah Hatta mendapati lagi tanda-tanda kehidupan Tan Malaka. Pada 1925, Hatta memperoleh buku kecil karangan Tan, berjudul Naar een Republik Indonesia (Menuju Republik Indonesia). Buku tipis ini, mengilhami banyak pejuang kemerdekaan.
Tan Malaka yang menurut Alfian “riwayat hidupnya bagaikan cerita detektif yang penuh ketegangan” memang punya pandangan yang khas dan sangat independen.
Ketika tokoh-tokoh PKI pada pertengahan 1920-an merencanakan pemberontakan terhadap pemerintah kolonial Belanda, Tan Malaka tegas menolak rencana itu. Lantaran itu, Tan dimusuhi kalangan komunis. Tan dituduh sebagai biang keladi penyebab gagalnya pemberontakan PKI pada 1926. Tan dimusuhi dan dicap sebagai pengkhianat partai. Tokoh PKI, M. H. Lukman pada 15 November 1950 menulis di harian Bintang Merah: “Tan Malaka Pengkhianat Marxisme-Leninisme”.
Ketika Perdana Menteri Sutan Sjahrir tampil dengan politik perundingan, Tan Malaka bersama Ketua Umum Partai Masyumi Soekiman Wirjosandjojo dan sejumlah tokoh lain, membentuk Persatuan Perjuangan yang mengecam politik perundingan Sjahrir.
Dalam pidato di depan massa Persatuan Perjuangan di Purwokerto, Tan Malaka antara lain berkata: “Orang tidak akan berunding dengan maling di rumahnya.”
Pandangannya terhadap Islam, juga menarik. Menurutnya, Islam telah mengajarkan sosialisme dan antipenjajahan, dua belas abad sebelum Karl Marx lahir.
Tan Malaka yang independen, mengakhiri hidupnya juga secara tragis. Pada 21 Februari 1949 dia dieksekusi oleh Tentara Republik Indonesia di kaki Gunung Wilis.
Pada tahun 1963, dengan Keputusan Presiden Sukarno, Tan Malaka dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional. Tetapi, lama sesudah itu, Tan Malaka masih tetap menjadi misteri. Di mana dia dikuburkan pun, masih diperdebatkan.Tragedi seorang yang tulang punggungnya tidak mudah membungkuk? Seorang yang oleh Mr. Muhammad Yamin dijuluki sebagai Bapak Republik.| sumber, Luman Hakim/red-06 |